Aqidah secara bahasa artinya ikatan. Sedangkan secara
istilah Aqidah artinya keyakinan hati dan pembenarannya terhadap sesuatu. Dalam
pengertian agama maka pengertian Aqidah adalah kandungan rukun iman, yaitu:
1.
Beriman dengan Allah
2.
Beriman dengan para malaikat
3.
Beriman dengan kitab-kitab-Nya
4.
Beriman dengan para Rasul-Nya
5.
Beriman dengan hari akhir
6.
Beriman dengan takdir yang baik
maupun yang buruk
Sehingga Aqidah ini juga bisa diartikan dengan keimanan yang
mantap tanpa disertai keraguan di dalam hati seseorang (lihat At Tauhid lis
Shaffil Awwal Al ‘Aali hal. 9, Mujmal Ushul hal. 5)
Kedudukan Aqidah yang Benar
Aqidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan
kunci diterimanya amalan. Hal ini sebagaimana ditetapkan oleh Allah Ta’ala di
dalam firman-Nya:
ö@è% !$yJ¯RÎ)
O$tRr& ×|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqã ¥n<Î)
!$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù
tb%x. (#qã_öt
uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã
$[sÎ=»|¹ wur õ8Îô³ç Íoy$t7ÏèÎ/
ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti
kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".(QS. Al-Kahfi: 110)
Allah
ta’ala juga berfirman,
ôs)s9ur
zÓÇrré& y7øs9Î)
n<Î)ur tûïÏ%©!$# `ÏB
Î=ö6s% ÷ûÈõs9
|Mø.uõ°r& £`sÜt6ósus9 y7è=uHxå £`tRqä3tGs9ur z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$#
ÇÏÎÈ
Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah
diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi”
(QS. Az-Zumar: 65)
Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amalan tidak akan
diterima apabila tercampuri dengan kesyirikan. Oleh sebab itulah para Rasul
sangat memperhatikan perbaikan Aqidah sebagai prioritas pertama dakwah mereka.
Inilah dakwah pertama yang diserukan oleh para Rasul kepada kaum mereka; menyembah kepada Allah saja dan meninggalkan
penyembahan kepada selain-Nya.
Hal ini telah diberitakan oleh Allah di dalam firman-Nya:
ôs)s9ur
$uZ÷Wyèt/
Îû
Èe@à2
7p¨Bé&
»wqߧ
Âcr&
(#rßç6ôã$#
©!$#
(#qç7Ï^tGô_$#ur
|Nqäó»©Ü9$#
( Nßg÷YÏJsù
ô`¨B
yyd
ª!$#
Nßg÷YÏBur
ïƨB
ôM¤)ym
Ïmøn=tã
ä's#»n=Ò9$#
4 (#rçÅ¡sù
Îû
ÇÚöF{$#
(#rãÝàR$$sù
y#øx.
c%x.
èpt7É)»tã
úüÎ/Éjs3ßJø9$#
ÇÌÏÈ
Artinya: “Dan sungguhnya kami Telah mengutus
Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah Thaghut[826] itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang
diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang Telah
pasti kesesatan baginya[826]. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”
(QS. An-Nahl: 36)
Bahkan setiap Rasul mengajak kepada kaumnya dengan seruan
yang serupa yaitu, “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang
benar) bagi kalian selain Dia.” (lihat QS. Al A’raaf: 59, 65, 73 dan 85).
Inilah seruan yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib dan seluruh
Nabi-Nabi kepada kaum mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menetap di Mekkah sesudah beliau diutus sebagai Rasul selama 13 tahun mengajak
orang-orang supaya mau bertauhid (mengesakan Allah dalam beribadah) dan demi
memperbaiki Aqidah. Hal
itu dikarenakan Aqidah adalah fondasi tegaknya bangunan agama. Para dai penyeru
kebaikan telah menempuh jalan sebagaimana jalannya para nabi dan Rasul dari
jaman ke jaman. Mereka selalu memulai dakwah dengan ajaran tauhid dan perbaikan
Aqidah kemudian sesudah itu mereka menyampaikan berbagai permasalahan agama
yang lainnya (lihat At Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 9-10).
Sebab-Sebab Penyimpangan dari Aqidah yang Benar
Penyimpangan dari Aqidah yang benar adalah sumber petaka dan
bencana. Seseorang yang tidak mempunyai Aqidah yang benar maka sangat rawan
termakan oleh berbagai macam keraguan dan kerancuan pemikiran, sampai-sampai
apabila mereka telah berputus asa maka mereka pun mengakhiri hidupnya dengan
cara yang sangat mengenaskan yaitu dengan bunuh diri. Sebagaimana pernah kita
dengar ada remaja atau pemuda yang gantung diri gara-gara diputus pacarnya.
Begitu pula sebuah masyarakat yang
tidak dibangun di atas fondasi Aqidah yang benar akan sangat rawan terbius
berbagai kotoran pemikiran materialisme (segala-galanya diukur dengan materi),
sehingga apabila mereka diajak untuk menghadiri pengajian-pengajian yang
membahas ilmu agama mereka pun malas karena menurut mereka hal itu tidak bisa
menghasilkan keuntungan materi. Jadilah mereka budak-budak dunia, shalat pun mereka
tinggalkan, masjid-masjid pun sepi seolah-olah kampung di mana masjid itu
berada bukan kampungnya umat Islam. Alangkah memprihatinkan, wallaahul
musta’aan (disadur dari At Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal.
12)
Oleh karena peranannya yang sangat penting ini maka kita
juga harus mengetahui sebab-sebab penyimpangan dari Aqidah yang benar. Di
antara penyebab itu adalah:
1.
Bodoh terhadap prinsip-prinsip
Aqidah yang benar. Hal ini bisa terjadi karena sikap tidak mau mempelajarinya,
tidak mau mengajarkannya, atau karena begitu sedikitnya perhatian yang
dicurahkan untuknya. Ini mengakibatkan tumbuhnya sebuah generasi yang tidak
memahami Aqidah yang benar dan tidak mengerti perkara-perkara yang bertentangan
dengannya, sehingga yang benar dianggap batil dan yang batil pun dianggap
benar. Hal ini sebagaimana pernah disinggung oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu, “Jalinan agama Islam itu akan terurai satu persatu, apabila di
kalangan umat Islam tumbuh sebuah generasi yang tidak mengerti hakikat
jahiliyah”
2.
Ta’ashshub (fanatik) kepada nenek
moyang dan tetap mempertahankannya meskipun hal itu termasuk kebatilan, dan meninggalkan
semua ajaran yang bertentangan dengan ajaran nenek moyang walaupun hal itu
termasuk kebenaran. Keadaan
ini seperti keadaan orang-orang kafir yang dikisahkan Allah di dalam ayat-Nya, “Dan
apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah wahyu yang diturunkan Tuhan kepada
kalian!’ Mereka justru mengatakan, ‘Tidak, tetapi kami tetap akan mengikuti apa
yang kami dapatkan dari nenek-nenek moyang kami’ (Allah katakan) Apakah mereka
akan tetap mengikutinya meskipun nenek moyang mereka itu tidak memiliki pemahaman
sedikit pun dan juga tidak mendapatkan hidayah?” (QS. Al Baqarah: 170)
3.
Taklid buta (mengikuti tanpa
landasan dalil). Hal ini terjadi dengan mengambil pendapat-pendapat orang dalam
permasalahan Aqidah tanpa mengetahui landasan dalil dan kebenarannya. Inilah
kenyataan yang menimpa sekian banyak kelompok-kelompok sempalan seperti kaum
Jahmiyah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Mereka mengikuti saja perkataan
tokoh-tokoh sebelum mereka padahal mereka itu sesat. Maka mereka juga
ikut-ikutan menjadi tersesat, jauh dari pemahaman Aqidah yang benar.
4.
Berlebih-lebihan dalam menghormati
para wali dan orang-orang saleh. Mereka mengangkatnya melebihi kedudukannya
sebagai manusia. Hal ini benar-benar terjadi hingga ada di antara mereka yang
meyakini bahwa tokoh yang dikaguminya bisa mengetahui perkara gaib, padahal
ilmu gaib hanya Allah yang mengetahuinya. Ada juga di antara mereka yang
berkeyakinan bahwa wali yang sudah mati bisa mendatangkan manfaat, melancarkan
rezeki dan bisa juga menolak bala dan musibah. Jadilah kubur-kubur wali ramai
dikunjungi orang untuk meminta-minta berbagai hajat mereka. Mereka beralasan
hal itu mereka lakukan karena mereka merasa sebagai orang-orang yang banyak
dosanya, sehingga tidak pantas menghadap Allah sendirian. Karena itulah mereka
menjadikan wali-wali yang telah mati itu sebagai perantara. Padahal perbuatan
semacam ini jelas-jelas dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena
mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR.
Bukhari). Beliau memperingatkan umat agar tidak melakukan sebagaimana apa yang
mereka lakukan Kalau kubur nabi-nabi saja tidak boleh lalu bagaimana lagi
dengan kubur orang selain Nabi ?
5.
Lalai dari merenungkan ayat-ayat Allah,
baik ayat kauniyah maupun qur’aniyah. Ini terjadi karena terlalu mengagumi
perkembangan kebudayaan materialistik yang digembar-gemborkan orang barat.
Sampai-sampai masyarakat mengira bahwa kemajuan itu diukur dengan sejauh mana
kita bisa meniru gaya hidup mereka. Mereka menyangka kecanggihan dan kekayaan
materi adalah ukuran kehebatan, sampai-sampai mereka terheran-heran atas
kecerdasan mereka. Mereka lupa akan kekuasaan dan keluasan ilmu Allah yang
telah menciptakan mereka dan memudahkan berbagai perkara untuk mencapai
kemajuan fisik semacam itu. Ini sebagaimana perkataan Qarun yang menyombongkan
dirinya di hadapan manusia, “Sesungguhnya aku mendapatkan hartaku ini hanya
karena pengetahuan yang kumiliki.” (QS. Al Qashash: 78). Padahal apa yang
bisa dicapai oleh manusia itu tidaklah seberapa apabila dibandingkan kebesaran
alam semesta yang diciptakan Allah Ta’ala. Allah berfirman yang artinya, “Allah
lah yang menciptakan kamu dan perbuatanmu.” (QS. Ash Shaffaat: 96)
6.
Kebanyakan rumah tangga telah
kehilangan bimbingan agama yang benar. Padahal peranan orang tua sebagai
pembina putra-putrinya sangatlah besar. Hal ini sebagaimana telah digariskan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bayi dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi,
Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari). Kita dapatkan anak-anak telah besar di
bawah asuhan sebuah mesin yang disebut televisi. Mereka tiru busana artis
idola, padahal busana sebagian mereka itu ketat, tipis dan menonjolkan aurat yang
harusnya ditutupi. Setelah itu mereka pun lalai dari membaca Al Qur’an,
merenungkan makna-maknanya dan malas menuntut ilmu agama.
7.
Kebanyakan media informasi dan
penyiaran melalaikan tugas penting yang mereka emban. Sebagian besar siaran dan
acara yang mereka tampilkan tidak memperhatikan aturan agama. Ini menimbulkan
fasilitas-fasilitas itu berubah menjadi sarana perusak dan penghancur generasi
umat Islam. Acara dan rubrik yang mereka suguhkan sedikit sekali menyuguhkan
bimbingan akhlak mulia dan ajaran untuk menanamkan Aqidah yang benar. Hal itu
muncul dalam bentuk siaran, bacaan maupun tayangan yang merusak. Sehingga hal
ini menghasilkan tumbuhnya generasi penerus yang sangat asing dari ajaran Islam
dan justru menjadi antek kebudayaan musuh-musuh Islam. Mereka berpikir dengan
cara pikir aneh, mereka agungkan akalnya yang cupet, dan mereka jadikan
dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits menuruti kemauan berpikir mereka. Mereka
mengaku Islam akan tetapi menghancurkan Islam dari dalam. (disadur dengan
penambahan dari At Tauhid li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 12-13). (Tulisan dari
berbagai sumber)
1 komentar:
Like this..
salam hangat.. like this,, self hosting kah??? wah,, perlu banyak belajar ke mas sulthan nih..
jangan lupa gugel analytic, alexa syukur2 adsense-nya...
salam kenal dari www.masterfajar.com
Posting Komentar