Kamis, 24 Mei 2012

Muhammadiyah dari berbagai Perspektif

Masa depan Muhammadiyah (pasca satu abad) ditentukan kemampuan gerakan ini memahami realitas kehidupan warga yang jauh berbeda dibanding saat kelahirannya dan memprediksi arah perubahan kehidupan warga bangsa tersebut. Kini jurang kaya-miskin semakin tajam, pandai-tidak sekolah makin tinggi, kebenaran-kebatilan bergerak dalam ruang yang sama hampir tanpa jarak, warga yang berusaha saleh dan yang senang jadi teman setan hidup berdampingan. (Mulkhan, 2009). Satu abad merupakan tonggak sejarah yang penting bagi organisasi Muhammadiyah dalam ikhtiar mengemban misi dakwah dan tajdid di tengah lintasan zaman yang penuh gelora. Rentang seratus tahun Muhammadiyah telah berjuang mencerahkan kehidupan umat, bangsa, dan peradaban manusia semesta. Perjuangan Muhammadiyah akhirnya memperoleh pengakuan masyarakat luas sebagai gerakan Islam yang menorehkan tinta emas pembaruan di Indonesia.

Mengkaji Muhammadiyah yang usianya sudah satu abad adalah suatu pekerjaan yang sangat menantang dan menarik untuk dilakukan. Dengan karakternya yang multiwajah, penulis mencoba mengkaji Muhammadiyah dengan tiga pendekatan, yakni perspektif ideology, perspektif organisasi, dan perspektif gerakan. Dari perspektif ideology saya mencoba menyajikan tulisan ini dengan pendekatan apa yang melatar belakangi munculnya pemikiran tersebut dan menyimpulkan intinya saja karena mengingat banyaknya konsep. Kemudian perpektif organisasi disajikan dengan berbagai perangkat organisasi. Dan yang terahir perspektif gerakan, secara garis besar dan sudah menjadi identitas Muhammadiyah maka akan dijelaskan gerakan Islam, Dakwah sebagai Tajdid.
Semoga makalah yang sangat komperehensif ini dapat menjadi pengantar dalam memahami Muhammadiyah secara menyeluruh, meskipn masih banyak hal yang masih belum termuat secara keseluruhan, setidaknya inti dari setiap bahasa-bahasan sudah cukup mewakili dalam memahami dan mengkaji Muhammadiyah melalui pendekatan Ideologi, Organisasi, maupun Gerakannya.
Mengkaji Muhammadiyah Perspektif Teologis
Istilah teologi dalam pemikiran Islam dapat disebut dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Teologi lahir untuk menetapkan dalil-dalil rasional guna mempertahankan dan membuktikan ke-esa-an Allah SWT. Pemikiran Teologi dalam Muhammadiyah mengalami proses pelembagaan melalui Majelis dan institusi Tarjih yang dibentuk sejak tahun 1927 atas prakarsa Man Mansur. Dengan prinsip mencari dalil yang paling kuat, sebenarnya tarjih potensial sebagai institusi yang memberi ruang leluasa untuk diskursus tentang permasalahan dan pemikiran-pemikiran Islam dalam berbagai aspeknya, yang di dalamnya berbagai pandangan yang kontra sekalipun dapat dibahas dan dicarikan jalan keluarnya. Pembahasan Masalah Lima (al-Masail al-Khams) tahun 1938 yang digagas Mas Mansur tentang hakikat agama, dunia, ibadah, sabilullah, dan qiyas/ijtihad; merupakan contoh dari institusi tarjih yang penting  dalam membuka wacana atas masalah-masalah atau pemikiran-pemikiran Islam yang fundamental. Pembahasan tersebut kemudian dibawa ke Muktamar Khususi dan hasilnya dikodifikasi atau diputuskan pada tahun 1954/1955 sebagaimana rumusannya terdapat dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT) saat ini. Dalam secara umum memuat dua aspek yang fundamental, yaitu aspek yang bersifat teologis dan fiqih.
Kyai Dahlan memang tergolong unik dalam memahami dan mempelajari Al-Quran. Cara mempelajari Al-Quran dari KH.Ahmad Dahlan selalu dimulai dari mengiupas melalui pertanyaaan: Bagaimana artinya? Bagaimana tafsir keterangannya? Bagaimana maksudnya? Apakah itu larangan dan kamu sudah meninggalkannya? Apakah itu peritah yang wajib dikerjakan? Sudahkah kita menjalankannya? Jika belum menjalankannya secara sesungguhnya maka jangan membaca ayat-ayat lainnya. Inilah pendekatan Kyai Dahlan dalam memahami Islam, bukan sekadar dipahami, tetapi harus diamalkan secara konsisten.
Teologi Muhammadiyah atau tauhid dirumuskan dalam tarjih bahasan mengenai masalah keimanan meliputi sekitar 68 masalah. Bahasan Tarjih mengenai masalah tersebut mengenai masalah tersebut bersandar pada 98 ayat rujukan dan hadits sekitar 11 buah., Dalam membahas berbagai masalah, tarjih hamper tidak pernah mengutip atau merujuk pada pendapat para ulama dan pemikitr terdahulu kecuali dibeberapa tempat. Menunjuk ulama salaf tanpa menyebut nama. Dalam beberapa pendekatan semacam ini memang dapat menghindar dari perbedaan pendapat para ulama’, namun pada sisi lain Tarjih kurang dialogis dan kurang memecahkan mengenai perbedaan it sendiri. Kemudian peran akal dan kemerdekaan pikiran kurang mendapatkan peranan. (Mulkhan, 1994: 107-109).
Teologi Muhammadiyah menganai nilai-nilai aqidah, atau keimanan harus teraktualisasi dalam kehidupan bukan sekedar norma, ini yang diperlukan. Misalnya paham akidah Muhammadiyah itu bukan sekedar anti TBC dalm konteks masa lampau, tetapi juga menawarkan alternatif. Bagaimana tauhid itu bisa menjadi gerakan pencerahan, menjadi nilai-nilai yang menggerakan pencerahan, tauhid yang membebaskan, tauhid yang memberdayakan, tauhid yang memajukan khidupan dengan nilai-nilai illahiyah yang kokoh, bukan tauhid yang anti, anti tapi tidak menawarka solusi. (Haidar, 2010). Yaitu tauhid atau keimanan yang bersifat pembebasan, pemberdayaan, dan yang memajukan.
Teologi Transformatif
Teologi Transformatif dapat kita jumpai dalam Muhammadiyah yaitu Gerakan Al-Ma’un jika dikaitkan dengan konteks mutakhir dapat dikatakan sebagai gerakan keagamaan untuk pembebasan kaum dhu’afa dan mustadh’afin. Yakni gerakan untuk membela dan memebaskan kaum tertindas, teraniaya, terlemahkan, dan termarjinalisasikan secara personal, kulural, dan struktural. Tuhan, para Nasbi/Rasul, dan Islam memihak kaum mustadh’afin. Nabi menyuruh membebaskan orang dhalim (yang menganiaya) dan madhlum (yang teraniaya) dengan jalan mencegahnya agar tidak terjadi kedhalinman. Kaum mustadh’afun terkait dengan aspek dhu’afa (mereka yang lemah), mustadh’if (aktor yang melemahkan, yang menindas) dan istidh’af (proses sampai sistem yang melemahkan, yang menindas). Dalam kaitan ini Islam dalam totalitas ajarannya perlu menjadi agama transformatif, yakni agama untuk perubahan sekaligus sebagai agama untuk peembebasan. Islam yang demikian, sebagaimana Al- M’aun, yang disebut sebagai teologi pembebasan (theology of liberation).
Menurut Asghar Ali Engineer, Islam itu sesungguhnya merupakan agama pembebasan atau teologi pembebasan. Tauhid bahkan merupakan inti ajaran Islam yang mengandung dimensi pembebasan. Teologi pembebasan ialah teologi praksis Islam yang revolusioner, yang menjadikan Islam sebagai agama yang mengubah status-quo dan membebaskan kaum tertindas dan tereksploitasi. Perspektif teologi pembebasan dalam Islam menjadikan Tauhid bukan semata-mata sebagai ajaran yang mengandung prinsip Keesaan Allah semata, tetapi mengintegrasikannya dengan kesatuan hidup umat manusia untuk mewujudkan struktur kehidupan yang berkeadilan dan berkebajikan (al-’Adl wa al-Ahsan). Menurut Asghar Ali, orang yang bertauhid tidak akan semena-mena, menyeleweng, dan menindas sesama meskipun dirinya berkuasa. Inilah Islam sebagai ajaran pembebasan.
Islam menjunjung tinggi amal (perbuatan) setara dengan iman. Terdapat 360 kata tentang ”amal” dalam berbagai sighat dalam Al-Quran, yang menggambarkan betapa Tuhan meletakkan konsep amal sedemikian penting. Esensi dasarnya ialah, Islam selain memandang penting tentang amal, tetapi lebih konkret lagi bahwa bentuk manifestasi Islam hanyalah dalam amal, dengan kata lain Islam hanya teraktualisasi dalam amal. Konsep amal dalam Islam berdimensi luas, baik yang bersifat material maupun spiritual, duniawi maupun ukhawi. Amal terkait dengan fungsi ibadah dan kekhalifahan manusia di muka bumi. Amal terkait dengan perbuatan manusia, jika baik maka hasilnya baik, sebaliknya jika buruk akan menuai buruknya. Amal terkait dengan kerja atau ikhtiar. Amal terkait dengan pahala, baik pahala di dunia maupun di akhirat. Amal (amal shalih) disertai iman, bahkan terkait dengan corak kehidupan (hayatan thayyiban) di dunia dan pahala kebaikan hingga tiket untuk masuk surga di akhirat. Karena itu amal dalam Islam harus dibingkai dengan keshalihan, sehingga menjadi amal shalih, sekaligus direlasikan dengan iman.
Amal dalam Muhammadiyah bersifat konkret, artinya Muhammadiyah dalam mewujudkan Islam sebagai ajaran dalam kehidupan haruslah nyata, kerana itu dikatakan sebagai amal usaha. Namun langkah gerakan Muhammadiyah dalam bentuk usaha tidak sekadar serangkaian kegiatan praktis tanpa fondasi dan tujuan yang mulia, tetapi merupakan wujud dari dakwah atau misi Islam yang dijalankan Muhammadiyah, karena itu dinamakan amal usaha. Jadi amal usaha ialah amal yang diwujudkan dalam usaha dan usaha yang dilandasi nilai amal sebagaimana perintah Allah agar manusia muslim selaku pribadi maupun kolektif beriman dan beramal shaleh. Karena itu amal usaha dalam Muhammadiyah bukan sekadar serangkaian langkah praktis semata tetapi miliki filosofi yang berpijak pada misi gerakan Muhammadiyah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud maasyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Karena itu Muhammadiyah melalui gerakan Al-Ma’un, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan amal usaha lainnya sejak berdirinya hingga saat ini telah menghadirkan Islam dalam dunia nyata, bukan sekadar norma dan dogma ajaran langit belaka. Langkah terobosan Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah generasi awal itu jelas merupakan gerakan dakwah transformatif, sehingga dapat dikatakan sebagai teologi transformatif atau mirip dengan teologi pembebasan (theology of liberation) yang belakangan berkembang di lingkungan Lembaga Swadaya Masyarakat di seluruh dunia.
Mengkaji Ideologi Muhammadiyah
Konsep Ideologi
Ideologi dibentuk oleh kata ‘ideo’ yang berarti pemikiran, khayalan, konsep, atau keyakinan, dan kata ‘logos’ artinya logika, ilmu, atau pengetahuan. Sehingga secara harfiah ideologi bermakna pengetahuan tentang ide, keyakinan, atau tentang berbagai gagasan.. Musthafa dan Adaby (2005) menyatakan bahwa setiap ideologi mengandung tiga unsur, yaitu: (1). Adanya suatu penafsiran terhadap realitas (interpretasi) atau keyakinan hidup , (2). Memuat seperangkat nilai atau cita-cita hidup, dan (3). Orientasi tindakan (program aksi) untuk mewujudkan tujuan hidup yang dicita-citakan. Sebagaimana Hadjid (2008: 36) menegaskan hendaknya kita memilih agama yang benar dan paham agama yang benar. Karena itu sangat mempengaruhi jalan hidup.
Syariati (1982:146), mendefinisikan makna ideology merupakan paham dan teori perjuangan yang dianut kuat oleh kelompok manusia menuju pada cita-cita social tertentu dalam kehidupan. Gerakan social apapun tidak lepas dari ideology, lebih-lebih yang melekatkan dirinya dengan ideology. Ideology diperlukan untuk membangun system, solidaritas, arah, mobilisasi anggota, dan strategi perjuangan sesuai dengan prinsip suatu gerakan social, lebih-lebih gerakan keagamaan (haidar, 2010:195). Jadi ”ideologi Muhammadiyah” ialah ”seperangkat pemikiran dan sistem perjuangan untuk mewujudkannya” atau ”sistem paham dan perjuangan untuk mewujudkannya”, yakni ”paham Islam dan sistem gerakan Muhammadiyah” (Tanwir, 2007:44). Dari pemikiran itu maka ideology bukan sekedar perangkat paham atau pemikiran, tetapi juga teori atau system perjuangan hingga strategi perjuangan yang penting untuk mewujudkan cita-cita suatu masyarakat dalam kehidupan. Karena itu suatu ideology apapun merupakan suatu system paham dan sekaligus perjuangan, yang dilaksanakan dengan suatu gerakan yang sistematik dan penuh militansi untuk mewujudkannya.
Ideology sebagai system paham yang menyeluruh memang memiliki sifat kaku dan eksklusif, tetapi itulah sifat ideology. Ketika suatu gerakan islam beridelogi pembaharuan seperti halnya Muhammadiyah, maka ketertutupan dan kekakuan itu menjadi ternetralisasi oleh orientasi moderasi dan pembaharuannya, sehingga bandul ideologinya cenderung moderat. Oleh karena itu Muhammadiyah sering disebut dengan gerakan islam moderat (tengahan; wasithiyah), sehingga tidak melahirkan kesadaran palsu yang mengerangkeng kebenaran.
Ideologi Muhammadiyah
Rumusan pokok-pokok persoalan tentang ideology “Keyakinan Hidup Muhammadiyah” disusun oleh panitia tajdid seksi “ideology” “Keyakinan Hidup Muhammadiyah” dalam muktamar ke-37 tahun 1968 dinyatakan bahwa ideology yaitu “Ajaran atau ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan menyeluruh membahas mengenai gagasan, cara-cara, angan-angan atau gambaran dalam pikiran, untuk mendapatkan keyakinan mengenai hidup dan kehidupan yang benar dan tepat”. Dinyatakan pula bahwa ideology berarti “ Keyakinan Hidup”, yang mencakup “pandangan hidup, tujuan hidup, dan ajaran dan cara yang digunakan untuk melaksanakan pandangan hidup dalam mencapai tujuan hidup tersebut”. (PP Muhammadiyah, 1968:6).
Namun karena pada waktu itu istilah ideology oleh rezim Orde Baru dikosntruksi hanya berlaku untuk ideology Negara ditengah kebijakan politik yang monolitik dan deideologisasi, maka Muhammadiyah menggunakan istilah “Keyakinan dan Cita-cita Hidup”. Setelah Orde Baru tumbang dan lahir Era Reformasi tahun 1998, maka istilah ideology tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang alergi dan mengancam ideolgi Negara. Ideology Muhammadiyah bukan sekedar seperangkat paham atau pemikiran belaka, tetapi juga teori dan strategi perjuangan untuk mewujudkan paham tersebut dalam kehidupan. Karena itu yang dimaksud dengan “Ideology Muhammadiyah”, ialah “System Keyakinan, Cita-cita, dan Perjuangan Muhammadiyah sebagai gerakan islam dalam mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya”. Adapun kandungan ideology Muhammadiyah ialah (1). Paham islam atau paham agama dalam Muhammadiyah, (2). Hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dan (3). Misi, fungsi, dan strategi perjuangan Muhammadiyah. (haidar,2010:198-199).
Pada Era Kyai Mas Mansyur, tepatnya tahun 1938 dilahirkan konsep “Duabelas Langkah Muhammadiyah” atau “Langkah Muhammadiyah tahun 1938-1942” yang mengandung pokok-pokok pikiran seputar langkah organisasi yang penting, yaitu : (1). Memperdalam masuknya iman, (2). Memperluas paham agama, (3). Memperbuahkan budi pekerti, (4). Menuntun amalan intiqod, (5). Menguatkan persatuan, (6). Menegakkan keadilan, (7). Melakukan kebijaksanaan, (8). Menguatkan Majelis Tanwir, (9). Mengadakan konferensi bahagian, (10). Mempermusyawarahkan keputusan, (11). Mengawaskan gerakan dalam, dan (12). Mempersambungkan gerakan luar. (PP Muhammadiyah, 1939).
Pemikiran ideologis semakin kuat tumbuh pada awal kemerdekaan dengan digagasnya konsep Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah tahun 1945 oleh Ki Bagus Hadikusuma (Ketua PB Muhammadiyah periode 1942-1953), kemudian disahkan dalam sidang Tanwir tahun 1961. Latar belakang dilahirkannya Muqaddimah AD Muhammadiyah tersebut didasarkan atas perjalanan selama 30 tahun Muhammadiyah setelah berdirinya yang mengalami dua kecenderungan, yaitu: pertama, ”terdesaknya pertumbuhan dan perkembangan jiwa/ruh Muhammadiyah oleh perkembangan lahiriah”, dan kedua ”masuknya pengaruh dari luar yang tidak sesuai yang sudah menjadi lebih kuat” (baca: Penjelasan Muqaddimah AD, bab: Pendahuluan). Pemikiran yang terkandung dalam Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah terdapat enam hal yang bersifat fundamental, yakni: (1). Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah SWT ; (2). Hidup manusia bermasyarakat; (3). Mematuhi ajaran-ajaran agama islam dengan keyakinan bahwa ajaran islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia dan akhirat; (4). Menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada manusia; (5). I’tiba kepada langkah perjuangan nabi Muhammad SAW; (6). Melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.
Selanjutnya pemikiran yang bersifat peneguhan identitas dilanjutkan dengan rumusan “Kepribadian Muhammadiyah” tahun 1962, lahir pada era kepemimpinan H.M. Yunus Anis (1959-1962) dan diputuskan dalam muktamar ke-35 di Jakarta tahun 1962. Kepribadian Muhammadiyah berfungsi sebagai landasan, pedoman, dan pegangan bagi gerak Muhammadiyah. (Adaby, 2005: 226-231). Dalam matannya dibahas, Apakah Muhammadiyah itu?, Dasar Amal Usaha Muhammadiyah,  Pedoman Amal Usaha dan Perjuangan Muhammadiyah, serta Sifat-sifat Muhammadiyah.
Perkembangan ideology yang lebih monumental yang melatar belakangi dirumuskannya ideology ialah kelahiran rezim politik Orde Baru dalam momentum muktamar ke-37 tahun 1968 di Yogjakarta melahirkan “Matan  Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah” (MKCHM) dan “ Khittah Perjuangan Muhammadiyah”, disamping konsep lain seperti Gerakan Jama’ah dan dakwah Jama’ah (GJDJ), Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) mengandung lima pokok pikiran yang fundamental. Dalam penjelasan MKCHM kelima pokok pikiran tersebut dikelompokkan ke dalam tiga aspek, yaitu butir pertama dan kedua mengandung ”pokok-pokok persoalan yang bersifat ideologis”, butir ketiga dan keempat tentang ”paham agama menurut Muhammadiyah”, dan butir kelima tentang ”fungsi dan misi Muhammadiyah dalam masyarakat Negara Indonesia”
Pada tahun 2000 dalam muktamar ke-44 di Jakarta dirumuskan konsep penting dan mendasar yakni “ Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah” (PHIWM yang merupakan seperangkat nilai dan norma islami yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah untuk menjadi pola bagi tingkah laku warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sehingga terwujud masyarakat islam yang sebenar-benarnya. PHIWM merupakan pedoman untuk menjalani kehidupan dalam lingkup pribadi, keluarga, bernasyarakat, berorganisasi, mengelola usaha, berbisnis, mengembangkan profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan seni budaya, yang menunjukkan prilaku hasanah atau prilaku yang baik. (PP Muhammadiyah, 2000).
Pada muktamar ke-45 tahun 2005 di malang Muhammadiyah mengeluarkan konsep pandangan dunia yang cukup penting yakni “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad” “Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn”, sebagai manifesto Muhammadiyah dalam menghadapi dunia abad 21 ketika usianya memasuki 100 tahun. Adapun kandungan isi pernyataan pemikiran Muhammadiyah jelang satu abad tersebut menyangkut :  1. Komitmen gerakan; 2. Pandangan keagamaan; 3. Pandangan tentang kehidupan; 4. Tanggung jawab kebangsaan dan kemanusiaan; 5. Agenda dan langkah kedepan disertai kebijakan-kebijakan strategis Muhammadiyah memasuki usianya 1 abad.
Ideologi Muhammadiyah dalam konteks keislaman dan keindonesiaan selain ditunjjukan dengan sikap yang tegas dalam memandang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila juga menampilkan Islam sebagai ideology reformis atau modernis. Dari pemikiran ideology Muhammadiyah sebagaimana terkandung dalam pemikiran-pemikiran resmi yang bersifat ideologis semakin jelas bahwa posisi gerakan Islam ini sebagai gerakan pembaharuan yang berideologi reformis atau modernis. (Haidar, 2010: 209-211).
Muhammadiyah Perspektif Organisasi
Deliar Noer (1988: 84) menyebut Muhammadiyah sebagai oeganisasi social terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II. Sejak kelahirannya tahun 1912, Muhammadiyah  memilih system organisasi sebagai wadah menuju pencapaian tujuan dan cita-citanya. Organisasi bagi muhammadiyah merupakan suatu keharusan atau keniscayaan karena melalui organisasi  itulah perjuangan Islam dapat diwujudkan secara lebih tersistem dan sebanyak mungkin menggunakan sumberdaya, sumberdana, dan segala potensi yang dimiliki umat Islam. Sebagaimana dalam qaidah ushuliyah, ma la yatimu al-wajib illa bihi fa huwa wajib, bahwa (segala sesuatu menjadi wajib apabila keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari sesuatu itu). QS ali-Imran ayat ke-104 bagi Muhammadiyah sebagai landasan lahirnya organisasi dakwah dan tajdid. Organisasi Muhammadiyah sebagai alat perjuangan yang pastinya selain menampilkan diri dalam system gerakan yang terorganisasi meliputi anggota, infrastruktur, dan kepemimpinan, pada saat yang sama juga mengandung usaha-usaha untuk mencapai maksud dan tujuannya.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dikelola dengan sitem organisasi yang modern, karena itu disebut pula sebagai persyarikatan atau dalam masa awal disebut dengan Perhimpunan Muhammadiyah (Haidar, 2010: 386). Organisasi Muhammadiyah bersifat structural yang memiliki hirarki kepemimpinan dari tingkat Pusat sampai tingkat Ranting di masyarakat. Hirarki kepemimpinan itu terdiri dari Pimpinan Pusat (Nasional), Pimpinan Wilayah (Propinsi), Pimpinan Daerah (Kota dan Kabupaten), Pimpinan Cabang (Kecamatan), dan Pimpinan Ranting (Kelurahan/Desa atau area/region). Organisasi Muhammadiyah tersebut lebig bersifat kesatuan, sehingga disebut dengan Persyarikatan Muhammadiyah. Muhammadiyah memiliki badan hukum sendiri yang telah diakui sejak zaman pemerintahan Kolonial sampai pasca kemerdekaan, sehingga keberadaannya baik secara kesejarahan maupun hokum menjadi organisasi kemasyarakatan yang diakui secara sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selama se-abad Muhammadiyah telah tersebar diseluruh Indonesia secara relative merata. Struktur organisasi Muhammadiya tersebar di 33 Wilayah, 408 Daerah, 3.176 Cabang, dan 10.235 Ranting. Kegiatan diakar rumput dipusatkan pada 6.118 masjid dan 5.080 mushalla. Selain itu Muhammadiyah juga memiliki Cabang Istimewa di sejumlah Negara seperti Mesir, Singapura, Syiria, Sudan, Iran, Perancis, Inggris, Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Jepang, Malaisya, Australia, dan lain-lain yang digerakkan oleh mahasiswa dan warga serta simpatisan Muhammadiyah Negara setempat.
 Selain itu, Muhammadiyah juga memiliki sejumlah tujuh organisasi otonom yang mengembangkan organisasi, usaha-usaha, dan tujuan khusus sesuai dengan karakter masing-masing. ‘Aisyiyah adalah satu-satunya organisasi otonom khusus Muhammadiyah yang memiliki cirri khusus, yakni kewenangannya dalam menyelenggarakan amal usaha serta memiliki angoota yang pasti Muhammadiyah. Aisyiyah didirikan tanggal 27 Rajab 1335 H (22 April 1917 M) yang pada mulanya menjadi bahagian, kemudian menjadi Majelis, selanjutnya menjadi organisasi otonom khusus.
Organisasi otonom umum yang lainnya diantaranya yaitu, Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA, berdiri tahun 1931). Pemuda Muhammadiyah (PM, berdiri tahun 1932) sebagai ortom yang bergerak di dunia kepemudaan dan kemasyarakatan. Selain itu, Muhammadiyah juga memiliki Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM, berdiri tahun 1964) bergerak di dunia kemahasiswaan. Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM, berdiri tahun 1961) yang menggarap kelompok atau dunia kepelajaran. Kemudian dua ortom lainya yaitu TApak Suci Putera Muhammadiyah (TSPM, berdiri 1963) yang bergerak dalam olahraga dan seni beladiri pencak silat, serta yang terahir adalah Hisbul Wathon (HW, berdiri 1018) yang bergerak dalam kepanduan. Semuanya memiliki focus gerakan tertentu dan menjadi pilar penting bagi gerakan Muhammadiyah.
Selain memiliki organisasi otonom , juga memiliki Unsur Pembantu Pimpinan yaitu Majelis dan Lembaga. Majelis bertugas menyelenggarakan amal usaha, program, dan kegiatan pokok dalam bidang tertentu. Majelis dibentuk oleh Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, dan Pimpinan Cabang di tingkat masing-masing sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan lembaga bertugas melaksanakan program dan kegiatan pendukung yang bersifat khusus. (ART pasal 19). Dalam periode kepemimpinan (2010-2015) terdapat 17 Unsur Pembantu Pimpinan, yaitu: Majelis Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam, Majelis Tabligh, Majelis Pendidikan Dasar, Menengah dan Pesantren, Majelis Dikti,  Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat, Majelis Wakaf, Majelis Ekonomi, Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), Majelis Lingkungan Hidup (MLH), Majelis Pustaka dan Informasi, Lembaga Seni Budaya dan olahraga (LSBO), Lembaga Penelitian dan Pengembangan. Lembaga Hukum dan HAM, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik, Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lembaga Zakat Infaq, dan Shadaqah (LAZIZ), dan Lembaga Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri. (Berita Resmi Muhammadiyah; Tanfidz Muktamar  satu Abad Muhammadiyah).
Kelembagaan lain yang melekat dengan organisasi Muhammadiyah adalah mekanisme permusyawaratan yang menjadi nafas dari gerakan Islam ini. Pada tingkat pusat atau nasional bentuk permusyawaratan tertinggi ialah Muktamar diikuti dengan Tanwir sebagai pranata permusyawaratan dibawah Muktamar. Pada tingkat wilayah atau propinsi disebut dengan Musyawarah Wilayah dan Musyawarah Pimpinan Wilayah, demikian seterusnya sampai ketingkat dibaawahnya. Pada masa KH A. Dahlan permusyawaratan tertinggi organisasi diberi nama Rapat Tahunan, yakni 10 kali A. Dahlan dan 4 kali di masa K.H. Ibrahim (1912-1925),. Sejak tahu 1926 permusyawaratan diberi nama Kongres Tahunan sampai tahun 1941, yakni pada masa kepemimpinan Kyai Ibrahim, Kyai Hisyam, dan Kyai Mas Mansur. Pada msa kependudukan jepang dan awal kemerdekaan terjadi kevakuman musyawarah Muhammadiyah, sehingga hanya dilakukan dua kali yakni Muktamar Darurat tahun 1944 dan silaturrahim se-Jawa tahun 1946, keduanya dibawah kepemimpinan  Ki Bagus Hadikusuma. Sejak  tahun 1950 permusyawaratan dinamai Muktamar hingga saat ini. (Haidar, 2010: 391).
Hal lain yang melekat dalam diri Muhammadiyah ialah tradisi demokrasi. Tradisi demokrasi dalam Muhammadiyah sangan tersistem, tertata rapi, sehingga membangun budaya egaliter dalam organisasi ini. Bahkan pada rapat TAhunan (Kongres, Muktamar) telah masa KHA Dahlan telah dilakukan pemungutan suara terbanyak (votting), apabila kemufakatan dalam musyawarah tidak tercapai. Di dalam Muhammadiyah tidak dikenal kultus individu, namun mekanisme organisasi jauh melampaui kekuatan individu dalam system organisasi Islam ini.
Muhammadiyah Perspektif Gerakan
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. ( Anggaran Dasar Pasal 4 ayat 1). Kemudian dalam Kepribadian Muhammadiyah, didefinisikan sebagai  suatu persyarikatan  yang merupakan “Gerakan Islam”. Maksud gerakan ialah “Da’wah Islam dan Amar Ma’ruf nahi Munkar” yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat. Da’wah dan Amar Ma’ruf nahi Munkar pada bidang pertama terbagi kepada dua golongan: (1). Kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan  kepada ajaran Islam yang asli dan murni. (1). kepada yang belum Islam, bersifat seruan atau ajakan untuk memeluk agama Islam. Adapun da’wah Islam dan Amar Ma’ruf nahi Munkar bidang kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat kebaikan, bimbingan dan peringatan. Sehingga jelas dapat disimpukan bahwa ada tiga identitas gerakan Muhammadiyah, yaitu Gerakan Islam, Gerakan Dakwah, dan Gerakan Tajdid.
Muhammadiyah Gerakan Islam
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang melaksanakan misi dakwah dan tajdid untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Bagi Muhammadiyah Islam merupakan nilai utama sebagai fondasi dan pusat inspirasi yang menyatu dalam seluruh denyut-nadi gerakan. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam sebagai risalah yang dibawa para Nabi hingga Nabi akhir zaman Muhammad s.a.w. adalah agama Allah yang lengkap dan sempurna. Islam selain mengandung ajaran berupa perintah-perintah dan larangan-larangan tetapi juga petunjuk-petunjuk untuk keselamatan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. (tanfidz Muktamar se-abad: 14)
Muhammadiyah memandang bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan. Kemajuan dalam pandangan Islam adalah kebaikan yang serba utama, yang melahirkan keunggulan hidup lahiriah dan ruhaniah. Islam yang berkemajuan memancarkan pencerahan bagi kehidupan. Islam yang berkemajuan dan melahirkan pencerahan secara teologis merupakan refleksi dari nilai-nilai transendensi, liberasi, emansipasi, dan humanisasi sebagaimana terkandung dalam pesan Al-Quran Surat Ali Imran ayat 104 dan 110 yang menjadi inspirasi kelahiran Muhammadiyah.
Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjungtinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diksriminasi. Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemunkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka bumi.
Pandangan Islam yang berkemajuan yang diperkenalkan oleh pendiri Muhammadiyah telah melahirkan ideologi kemajuan, yang dikenal luas sebagai ideologi reformisme dan modernisme Islam, yang muaranya melahirkan pencerahan bagi kehidupan. Pencerahan (tanwir) sebagai wujud dari Islam yang berkemajuan adalah jalan Islam yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan dari segala bentuk keterbelakangan, ketertindasan, kejumudan, dan ketidakadilan hidup umat manusia. Muhammadiyah tidak hanya berhasil melakukan peneguhan dan pengayaan makna tentang ajaran akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam mu’amalat dunyawiyah yang membawa perkembangan hidup sepanjang kemauan ajaran Islam dengan (al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah) untuk menghadapi perkembangan zaman.
Muhammadiyah memahami bahwa Islam memiliki pandangan tentang masyarakat yang dicita-citakan, yakni masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam pesan Al-Quran (QS. Ali Imran ayat 110; Al Baqarah ayat 143), masyarakat Islam yang diidealisasikan merupakan perwujudan khaira ummah (umat terbaik) yang memiliki posisi dan peran ummatan wasatha (umat tengahan), dan syuhada ‘ala al-nas (pelaku sejarah) dalam kehidupan manusia. Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang di dalamnya ajaran Islam berlaku dan menjiwai seluruh bidang kehidupan yang dicirikan oleh ber-Tuhan dan beragama, berpersaudaraan, berakhlak dan beradab, berhukum syar’i, berkesejahteraan, bermusyawarah, berihsan, berkemajuan, berkepemimpinan, dan berketertiban. Dengan demikian masyarakat Islam menampilkan corak yang bersifat tengahan, yang melahirkan format kebudayaan dan peradaban yang berkeseimbangan.
Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani (civil-society) yang maju, adil, makmur, demokratis, mandiri, bermartabat, berdaulat, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah) yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah. Masyarakat Islam sebagai kekuatan madaniyah (masyarakat madani) menjunjungtinggi kemajemukan agama dan pemihakan terhadap kepentingan seluruh elemen masyarakat, perdamaian dan nir-kekerasan, serta menjadi tenda besar bagi golongan dan kelompok masyarakat tanpa diskriminasi. Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah merupakan masyarakat yang terbaik yang mampu melahirkan peradaban yang utama sebagai alternatif yang membawa pencerahan hidup umat manusia di tengah pergulatan zaman.
Muhammadiyah Gerakan Dakwah
Muhammadiyah sejak berdirinya tahun 1912 mengukuhkan dirinya sebagai gerakan dakwah selain gerakan tajdid. Dalam Anggaran Dasar yang pertama tahun 1912 dinyatakan bahwa Perhimpunan Muhammadiyah memiliki maksud: ”a. Menyebarluaskan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa Salam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. Memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya” (Statuten Muhammadiyah, tahun 1912, artikel/pasal 2). Kata ”menyebarluaskan” mengandung makna dakwah yang bersifat ekspansi, yakni mengajak kepada kebaikan (Islam), menyuruh pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar (QS. Ali-Imran/2: 104). Sedangkan kata ”memajukan” memiliki kaitan dengan pembaruan. (AD Muhammadiyah 2005).
Dakwah sejatinya merupakan konsep Islam yang paling demokratis. Kata dakwah (bahasa Arab) berasal dari kata da’a – yad’u – dakwatan artinya menyeru memanggil, dan menjamu. Dakwah Muhammadiyana ith bersifat multi aspek sesuai dengan keluasan ajaran Islam. Karena itu dakwah melipiti pembinaan paham dan praktik keagamaan sebagaimana tuntunan tarjih, tabligh, pendidikan, kesehatan, ekonomi, pemberdayaan masyarakat, peran kebangsaan dan berbagai usaha lainnya.
Konsep dan langkah paling strategis dan sistematis dari pemikiran dakwah Muhammadiyah dirumuskan tahun 1968 sebagai hasil muktamar ke-37 di Yogyakarta, yang dikenal dengan Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah (GJDJ). GJDJ merupakan terobosan baru yang cerdas dan menghujam ke akar masyarakat, yakni bagaimana Muhammadiyah melakukan dakwah Islam yang terpadu dan nyata di masyarakat melalui pengembangan jama’ah yang inklusif dan digerakkan oleh anggota Muhammadiyah sebagai inti Jama’ah. GJDJ adalah “suatu usaha  persyarikatan Muhammadiyah melalui anggotanya yang tersebar diseluruh tanah air untuk secara serempak teratur dan berencana meningkatkan keaktifannya dalam membina lingkungannya kea rah kehidupan yang sejahtera lahir batin”. (Haidar, 2010: 269-270).
Perkembangan mutakhir menyangkut pemikiran tentang dakwah  maupun integrasi GJDJ, diformulasikan dalam konsep dan pemikiran “Dakwah Kultural Muhammadiyah” sebagai sistem (manhaj) dakwah yang paling konperehensif produk Muhammadiyah secara resmi kelembagaan. Dikatakan lengkap karena menyangkut konsep dakwah secara umum maupun dakwah cultural sebagai suatu pendekatan, sekaligus mengandung aspek-aspek dakwah di berbagai bidang kehidupan termasuk di dalam GJDJ. Dakwah cultural merupakan pemikiran resmi Muhammadiyah yang digagas dan dibahas dua kali siding Tanwir di Dempasar tahun 2002, dan di Makasar tahun 2003, yang kemudian ditanfidzkan PP Muhammadiyah tahun 2004.
Pemikiran Dakwah Kultural (2004: 20) menyatakan tentang konsep dakwah secara umum yaitu “upaya untuk mengajak seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) agar dapat memeluk dan mengamalkan ajaran Islam atau mewujudkan ajaran Islam ke dalam kehidupan nyata”. Adapun yang dimaksud dengan Dakwah Kulturan adalah “ upaya penanaman nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai mahluk budaya secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Jika disimak secara seksama, objektif, dan jernih maka konsep dan pemikiran Dakwah Kultural maupun Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah sudah sangat lengkap pemikiran, metode, dan hal-hal lain seputar pemikiran dakwah Muhammadiyah. Kini yang diperlukan justru pelaksanaan di lapangan, yang sesungguhnya tidak berada di ruang vakum. Mobilisasi dakwah sangat diperlukan dengan menggerkkan segala potensi dan kekuatan mulai dari tingkat pusat sampai yang paling bawah yaitu ranting di seluruh lini organisasi dan anggota  untuk menjalankan konsep dakwah yang sudah sangat komperehensif itu.
Untuk melakukan dakwah Muhammadiyah terkandung dalam “Pedoman Pelaksanaan Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar” hasil tanwir 1967, Muhammadiyah selalu berusaha: (1). Tajdid dalam faham Agama dan masyarakat; (2). Keberanian memasuki masyarakat dengan tujuan membangun atas dasar Islam; (3). Tabsyir dalam beramal/gembira meng-Islamkan dan tidak mengkafirkan; (4). Ajakan Islam untuk masyarakat umum dengan tak memandang golongannya, pekerjaanya, politiknya, kebangsaannya, yang belum Islam diajak kepada Islam, yang sudah mengaku Islam diajak menyempurnakan ks-Islamanya; (5). Dimengertinya ajaran-ajaran Islam dalam hal yang menjadi keperluan masyarakat, baik mengenai ekonomi, politik, dan social sampai sekecil-kecilnya umpamanya dalam tata rumatangga perorangan; (6). Agar bagian dan badan-badan otonom Muhammadiyah benar-benar dapat dipergunakan sebagai alat-alat dakwah.
Dakwah Muhammadiyah pada abad kedua meneguhkan komitmen gerakannya untuk berperan lebih proaktif dalam melakukan pencerahan bagi kehidupan umat, bangsa, dan kemanusiaan universal yang sarat tantangan. Dalam gerak melintasi zaman dari abad kesatu ke abad kedua dan dalam menghadapi masalah-masalah keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal yang sangat kompleks itu Muhammadiyah berkomitmen kuat untuk menjadi bagian dari penyelesai masalah (problem solver) dengan mengambil prakarsa, partisipasi, dan langkah-langkah yang proaktif dan strategis.
Muhammadiyah Gerakan Tajdid
Muhammadiyah dikenal luas sebagai gerakan tajdid yang bermakna pembaharuan. Kata “tajdid” berasal dari bentukan kata jadda – yajiddu – jiddan/jiddatan artinya sesuatu yang ternama, yang besar, nasib baik, dan baru. ‘iadat al-syaiy ka al-mubtada (mengembalikan sesuatu pada asal mulanya), al-ihya (mengidup-hidupkan sesuatu yang telah mati), dan al-islah (menjadikan baik, mengembangkan). Namun kata tajdid yang paling ialah pembaharuan, setara dengan jadid (sesuatu yang baru). Menurut Asjmuni (2004: 286) tajdid bertujuan untuk memfungsikan Islam sebagai furqan, hudan, dan rahmatan lil ‘alamin, termasuk mendasari dan membimbing perkembangankehidupan masyarakat, serta IPTEK.
Gerakan tajdid Muhammadiyah dikenal dengan paradigma modernis-reformis yang tubuh Muhammadiyah cenderung eklektik atau berada di tengah (tawazun, tawasuth), sehingga dapat dikatakan sebagai berdiri dalam posisi paradigma wasithiyyah. Posisi dan peran tengahan itu bukan berarti kehilangan ketegasan dan jatidiri karena dalam hal-hal prinsip yang fundamental tetap kokoh. Karakter wasathiyyah atau gerakan ”tengahan” yang menjadi kepribadian dan orientasi gerakan Muhammadiyah ditunjukkan antara lain, pertama dalam jatidirinya selaku gerakan Islam yang sejak awal menampilkan tajdid yang bersifat pemurnian (tajrid, tandhif) sekaligus pembaruan (tajdid, ishlah) secara seimbang Purifikasi atau pemurnian (tajrid, tandzi). Tajdid Muhammadiyah itu bersifat baina tajrid wa tajdid (antara pemurnian dan pembaruan).  Dengan paradigma yang integratif atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi maka Muhammadiyah dapat melakukan rekonstruksi atau transformasi pemikiran dalam gerakannya.(Haidar, 2009).
 Tajdid fil-Islam diartikan terbatas pada pemurnian ajaran Islam yakni pemurnian (tajrid, tandhif) dimaksudkan untuk mengembalikan praktik Islam pada sumber aslinya yakni al-Qur’an dan Sunnah yang Shahihah atau Maqbullah. Sehingga dalam mengamalkan Islam benar-benar otentik, lebih lebihdalam beraqidah dan menjalankan ibadah mahdhah. Sedangkan pembaharuan (tajdid, ishlah) dimaksudkan untuk mengembangkan cara-cara dan praktik ajaran Islam sejalan dengan prinsip ijtihad untuk menghadapi perkembangan zaman guna meraih kemajuan sebagaimana yang berlaku dalam ranah mu’amalat duniawiyat.
Kodifikasi dan konsensus tajdid yang bercorak purifikasi dan dinamisasi tergambar pula dalam keputusan Muktamar ke-45 tahun 2005 di Malang yang telah menggariskan program strategis yaitu “Program Nasional Bidang Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam”. Program tersebut memiliki Rencana Strategis, yaitu: “Menghidupkan  tarjih, tajdid, dan  pemikiran Islam dalam Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan yang kritis-dinamis dalam kehidupan masyarakat dan proaktif dalam menjawab problem dan tantangan perkembangan sosial budaya dan kehidupan pada umumnya sehingga Islam selalu menjadi sumber pemikiran, moral, dan praksis sosial di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang sangat kompleks.”.  Adapun Garis Besar Program: (1) Mengembangkan dan menyegarkan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat yang multikultural dan kompleks; (2) Mensistematisasi metodologi pemikiran dan pengamalan Islam sebagai prinsip gerakan tajdid dalam gerakan Muhammadiyah; (3) Mengoptimalkan peran kelembagaan bidang tajdid, tarjih dan pemikiran Islam untuk selalu proaktif dalam menjawab masalah riil masyarakat yang sedang berkembang; (4) Mensosialisasikan produk-produk tajdid, tarjih dan pemikiran ke-Islaman Muhammadiyah ke seluruh lapisan masyarakat; dan (5) Membentuk dan mengembangkan pusat penelitan, kajian, dan informasi bidang  tajdid dan pemikiran Islam yang terpadu dengan bidang lainnya.
Muhammadiyah pada abad kedua berkomitmen kuat untuk melakukan gerakan pencerahan (tanwir) merupakan praksis Islam yang berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Gerakan pencerahan dihadirkan untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan. Gerakan pencerahan terus bergerak dalam mengemban misi dakwah, membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjungtinggi akhlak mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia. Komitmen Muhammadiyah tersebut menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang autentik.
Muhammadiyah dalam melakukan gerakan pencerahan berikhtiar mengembangkan strategi dari revitalisasi (penguatan kembali) ke transformasi (perubahan dinamis) untuk melahirkan amal usaha dan aksi-aksi sosial kemasyarakatan yang memihak kaum dhu’afa dan mustadh’afin serta memperkuat civil society (masyarakat madani) bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Dalam pengembangan pemikiran Muhammadiyah berpijak pada koridor tajdid yang bersifat purifikasi dan dinamisaai, serta mengembangkan orientasi praksis untuk pemecahan masalah kehidupan. gerakan pencerahan, Muhammadiyah memaknai dan mengaktualisasikan jihad sebagai ikhtiar mengerahkan segala kemampuan (badlul-juhdi) untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Jihad dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah perjuangan dengan kekerasan, konflik, dan permusuhan. Amin Abdullah (2009) mengatakan akan tantangan yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama usianya  pasti berbeda dari  abad kedua usianya, meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap ada. Untuk itu, Paradigma, Model, dan Strategi Tajdidnya juga harus disesuaikan dengan perkembangan terbaru discourse keislaman baik dalam teori maupun praktek.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan. 1994. Masalah-masalah Teologi dan Fiqih dalam Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Sipress.
Ali Syariati. Tugas Cendekiawan Muslim. Terjemahan M. Amien Rais. Yoyakarta. Shalahuddin Press. 1982.
Asymuni Abdurrahman,  Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aksi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004.
Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta, LP3ES, 1988.
Hadjid. Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Ayat Pokok Ayat al-Qur’an. Malang. LPI PPM. 2008.
Haedar Nashir. Makalah:Teologi Al-Ma’un dan Amal Usaha Muhammadiyah. disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Satu Abad Muhammadiyah di Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, diselenggarakan oleh RSIJ pada tanggal 2 s/d 4 Februari 2010 di Jakarta.
Haidar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, Yogyakarta’ Suara Muhammadiyah, 2010.
Haidar Nashir. Paradigma Tajdid Muhammadiyah Sebagai Gerakan Modernis-Reformis. Makalah Seminar Pra-Muktamar “Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid”, yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 21 s.d 22 November 2009, di Kampus UM Malang, Malang-Jawa Timur.
Mas Mansur. Tafsir Langkah Muhammadiyah. Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2010.
Musthafa Kamal, Pashadan Ahmad Adaby Darban, “Muhammadiyah Gerakan Islam”. Citra Karsa Mandiri; Yogyakarta. 2005.
M. Amin Abdullah. Paradigma Tajdid Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam Modernis-Reformis. Disampaikan pada acara Seminar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, 21-22 November 2009
M. Sukriyanto AR. Rekonstruksi  Paradigma  Gerakan Dakwah Muhammadiyah. Muktamar  Pemikiran Islam di Malang tanggal 11 – 13 Februari 2008
MPK PP Muhammadiyah. Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Idiologi, Khittah, dan Langkah, Suara Muhammadiyah, 2009.
PP Muhammadiyah. Pedoman Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah. Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-44 Tanggal 8 s/d 11 Juli Di Jakarta.Tahun 2000
PP Muhammadiyah. Anggaran Dasardan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah. 2005.
PP. Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Tanwir Muhammadiyah Tahun 1428 H / 2007 M
PP Muhammadiyah, Tanfidz Muktamar se-abad Muhammadiyah
(Sumber: buku hasil DAM Sukoharjo 2011)

0 komentar: