Minggu, 03 Juni 2012

Muhammadiyah dalam berbagai Kajian


Hidup bermasyarakat itu sunnah (hukum quadrat iradat) Allah atas kehidupan manusia di dunia ini. Masyarakat yang sejahtera, aman, damai, makmur dan bahagia hanya dapat diwujudkan atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong-royong, tolong menolong dengan berlandaskana hukum Allah yang sebenar-benarnya, dan terlepas dari pengaruh rayuan syaitan dan hawa nafsu. Agama Allah yang dibawa dan diajarkan oleh sekalian Nabi yang bijaksana dan berjiwa suci, adalah satu-satunya pokok hukum dalam masyarakat yang utama dan sebaik-baiknya. Mejunjung tinggi hukum Allah lebih dari pada hukum yang manapun juga, adalah kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang yang mengaku bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah semata. Agama Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi Adam sampai kepada NAbi Muhammad saw, dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia duia dan akhirat.

Untuk menciptakan serta mewujudkan masyarakat yang bahagia dan sentausa, tiap-tiap orang terutama dalam Islam, umat yang percaya akan Allah dan hari kemudian, wajiblah mengikuti jejak sekalian Nabi. Beribadah kepada Allah dan berusaha segiat-giatnya mengumpulkan segala kekuatan dan menggunakannya untuk menjelmakan masyarakat itu di dunia ini, dengan niat yang tulus, murni dan ikhlas karena Allah semata, dan hanya mengharap karunia dan Ridha-Nya belaka, serta mempunyai rasa tanggung jawab dihadirat Allah atas segala perbuatannya. Lagi pula harus sabar, tawakkal dan bertabah hati menghadapi segala kesukaran atau kesulitan yang menimpa dirinya. Dengan penuh pengharapan perlindungan dan pertolongan Allah yang Maha Kuasa, juga harus tegar dan penuh kesabaran dalam menghadapi rintangan-rintangan yang selalu datang.
untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan seperti diatas itu, maka dengan rahmat Allah di dorong oleh firman-Nya dalam Al-qur’an:
Adakanlah dari kamu sekalian, golongan umat yang mengajak kepada keislaman, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari pada kemungkaran. Mereka itulah golongan orang yang beruntung berbahagia” (Q.S Ali-Imran : 104)
Pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah bertepatan dengan 18 November 1912, berdirilah suatu persyerikatan sebagai gerakan Islam yang disebut dengan “Muhammadiyah” yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Gerakan islam ini tersusun dengan majlis-majlis (bagian-bagian)nya, mengikuti peredaran zaman serta berdasarkan  Syura yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan muktamar. Kesemuanya itu, perlu untuk menunaikan kewajiban mengamalkan perintah-perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW, guna mendapatkan karunia dan ridhaNya didunia dan akhirat, dan untuk mencapai masyarakat yang sentausa dan bahagia diserta nikmat dan Rahmat Allah yang malimpah-limpah, sehingga merupakan : “ Baldatun Thoyyibatun, wa Rabbun Ghofur “ suatu Negara yang indah, bersih suci dan makmur di bawa perlindungan  Tuhan Yang Maha Pengampun.
Maka dengan Muhammadiyah ini, mudah-mudahan umat Islam dapatlah diantarkan kepintu gerbang syurga “Jannatun Na’im” dengan keridhaan Allah Yang Rahman dan Rahim.
Apakah Muhammadiyah itu?
Muhammadiyah adalah persyerikatan yang merupakan gerakan islam. Maksud gerakannya ialah Dakwah Islam dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar yang ditujukan kepada perseorangan dan masyarakat. Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar kepada perseorangan terbagi kepada dua golongan: Pertama, Kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (Tajdid), yaitu bersifat mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni. Kedua, kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam. Adapun Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar kepada masyarakat, bersifat kebaikan, bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan mengharap keridhaan Allah semata.
Dengan melaksanakan Dakwah Islam dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah “Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”
Bagaimanakah Mengkaji Muhammadiyah dengan Berbagai Teori?
Setelah mengetahui apa itu Muhammadiyah, dan akan dikaji dari segi teologis. Namun perlu juga diuraikan terlebih dahulu apa itu “teori”. Menurut Kamus Ilmiah Populer, Teori : dalil (ilmu pasti); ajaran atau paham (pandangan) tentang sesuatu berdasarkan kekuatan akal (ratio); patokan dasar atau garis-garis dasar sains dan ilmu pengetahuan; pedoman praktek.[1]
Oleh karena itu, pembahasannya akan mengupas tentang Muhammadiyah dilihat dari segi teori-teori rasio individual. Baik dari cara mengamalkan amalannya ataupun dari kenapa orang memasuki Muhammadiyah tersebut. Teori-teori dari luar Muhammadiyahpun akan dikorelasikan dengan hal-hal yang berkenaan dengan Muhammadiyah tersebut.
Dalam menjalankan segala amalan-amalan baik yang telah diajarkan oleh KH Ahmad Dahlan, menggunakan teori-teori yang telah ditawarkan oleh KH Dahlan sendiri dalam bentuk pelajara-pelajaran ataupun pesan-pesan yang beliau sampaikan kepada generasi muda (muridnya). Ataupun teori yang muncul dari sesepu Muhammadiyah setelah KH Dahlan. Seperti Buyya Syafi’i Ma’arif yang selalu memberikan ide-ide yang sangat cemerlang bagi Muhammadiyah khususnya, Negara secara umumnya dalam menjalankan segala seluk beluk organisasi (Muhammadiyah) dan pemerintah (Negara).
Setelah dianalisa dan dipahami, ada beberapa point berikut ini yang dirasa bisa dijadikan teori dalam memahami Muhammadiyah:
1.        Suatu hari KH Dahlan berkata; “saya akan belajar sepanjang hayat”.
“saya akan belajar sepanjang hayat” kata KH A. Dahlan suatu hari. Dan ia benar-benar telah memenuhi kata-kataya itu. Hampir sepanjang hayatnya ia terus belajar, memburu ilmu kepada para ulama ternama serta membaca dan terus membaca. Tak heran puluhan kitab penting dan ratusan buku ia miliki secara pribadi, serta kitab-kitab itu dikajinya berulang-ulang. Antara lain kitab Tauhid karya Syekh Muhammad Abduh, dan kitab fil bid’ah karya ibnu Taimiyah. Mereka merupakan dua pemikir islam yang telah banyak mempengaruhi pemikiran kyai Dahlan.[2] Selain membaca buku dan kitab, kiai Dahlan juga rajin bertukar pikiran dengan ulama-ulama ternama. Ia juga tekun mengikuti perkembangan pemikiran pembaruan Islam melalui majalah Al-Manar yang di asuh Sayyid Rasyid Ridha. Dari majalah ini pula, antara laij ia menyimak gagasan-gagasan pembaruan Islam dari Jamaluddin Al-Afghani. Sifat selalu haus ilmu sudah tampak pada diri anak keempat kiai Abu Bakar ini sejak kecil. Mendapatkan pengetahuan agama yang pertama dari ayahnya, Dahlan kemudian berguru kepada beberapa ulama ternama. KD Dahlan belajar tafsir dan hadist, bahasa Arab dan ilmu Fiqih.
Maksud dari Pelajaran atau teori yang digunakan oleh Kyai Dahlan ini tidak jauh beda dengan pepatah yang mengatakan: “Uthlubul ‘ilma wallau bissin” Tuntutlah ilmu, walaupun ke Negri Cina. Antara pelajaran yang diberikan oleh KH Dahlan dengan pepatah tersebut ada kesinambungan yaitu sama-sama menekankan kepada generasi (muda Islam) penuntut ilmu untuk selalu menuntut ilmu tanpa ada batasnya. Sebagian dari generasi islam (muda)pun telah melakukan hal yang dipesankan oleh KH Dahlan ini terutama generasi estafet Muhammadiyah.
Jika dilihat kaitan Muhammadiyah  dengan kata bijak tersebut, Muhammadiyah tidak akan dapat dilestarikan jika para penerusnya tidak memeliki ilmu pengetahuan yang sesuai dengan diharapkan oleh ayahanda Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan. Sebagai generasi yang peduli akan kemajuan persyerikatan (Muhammadiyah) memang harus menguasai segala bentuk ilmu pengetahuan yang ada. Dan mengamalkan hadis Rasulullah: meuntut ilmu itu diwajibkan bagi Musliin dan Muslimat sejak Lahir hingga mati.[3] Hadis inilah yang membuat KH Ahmad Dahlan semakin bersemangat untuk terus berjuang dalam mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya yang akan ia manfaatkan untuk kelansungan dan kemajuan Muhammadiyah.
Ini merupakan pengetahuan teoritis sekaligus praktis yang di contohkan oleh KH Ahmad Dahlan untuk dilakukan oleh orang-orang yang memang akan menjadi penerus serta pemerhati Muhammadiyah kedepannya. Kualitas dan kepribadian dari individu tersebut juga memang harus diperhatikan dalam melanjutkan perjuangan Muhammadiyah, agar persyerikatan Muhammadiyah tetap dipegang oleh individu-individu yang memiliki kepribadian yang slalu berpikir maju dan  berkemajuan dalam menjawab tantangan-tantangan sosial, politik, kebudayaan, keberagamaan dan menjadi pencerah bagi kalangan masyarakat baik masyarakat Muhammadiyah ataupun masyarakat umum lainnya.
2.      Teori Al-Ma’un dalam Muhammadiyah
“Membaca Al-qur’an itu harus mengerti artinya, memahami maknanya, lalu melaksanakannya. Bila Cuma mengahafal tanpa melaksanakannya, lebih baik tak menambah bacaan surah.”
Pesan yang disampaikan oleh Dahlan yang sangat getol dengan Al-ma’un itu dan dapat juga dijadikan sebagai salah satu langkah teori untuk memperdalami amalan-amalan yang telah diperbuat oleh Muhammadiyah dalam bermasyarakat.
Dahlan tidak sekedar terpesona pada keindahan susunan ayat pada jus 30 itu qur’an itu. Tapi bila dia menyuruh santrinya mengulang Al-Ma’un untuk meresapkan sekaligus untuk mengamalkan perintah pada surah yang menjelaskan  sifat buruk manusia yang mendustakan agama, menghardik anak yatim-piatu, tak menyantuni dhuafa’, bahkan enggan menolong dengan barang berguna.
Untuk mengamalkan surat itu, Dahlan mengajak santri-santrinya ke Pasar Beringharjo, Malioboro, dan Alun-alun utara Yogyakarta. Ditempat-tempat itu berkeliaran pengemis dan kaum fakir. Ia memerintahkan setiap santrinya untuk membawa fakir itu ke Mesjid Besar. Dihadapan para santri, Dahlan membagikan sabun, sandang dan pangan kepada kaum fakir. Ia meminta fakir miskin untuk tampil bersih. Sejak saat itulah, Muhammadiyah aktif dalam menyantuni fakir miskin dan yatim piatu, dengan membentuk bagian Penolong Kesengsaraan Umum. Bagian itu selanjutkan dikembangkan , mendirikan Rumah Sakit dan badan sosial lainnya. Kenapa Dahlan bersikukuh pada Al-Ma’un? Ia rupanya enggan terjebak pada retorika. Al-qur’an bagi Dahlan bukan itu sekedar dikumadangkan tapi harus diamalkan.[4]
Dimasa hayatnya, memang sebagian besar ummat terjebak pada pensakralan Qur’an maupun ajaran yang baur dengan budaya local. Qur’an menjadi pajangan yang dikramatkan. Semua itu memotivasi Dahlan untuk mendidik para santrinya membumikan Al-qur’an. “Al-qur’an bagi Dahlan lebih mementingkan aksi” urai Hajriyanto Y. Thohari yang disampaikannya dalam satu kesempatan diskusi. Bahagian dari mementingkan aksi, Dahlan dalam kesehariannya mencoba mengamalkan setiap perintah yang terkandung dalam Al-qur’an.
3.      Mengambil contoh dari Teori Kemiskinan.
Kerbo (1996) mengidentifikasikan ada beberapa teori kemiskinan. Pertama, teori Sosial Darwinian. Teori ini kali pertama muncul dalam sosiologi dan mencoba menjelaskan kemiskinan dalam pengertian prilaku dan sikap orang miskin itu sendiri. Orang miskin itu miskin karena mereka tidak bekerja keras, mereka mempergunakan uang untuk berjudi, mabuk-mabukkan dan kemewahan yang tidak di butuhkan dan mereka juga memiliki kehidupan yang kacau balau. Mereka tidak memiliki ambisi, tidak mempuyai panggilan batin utuk bekerja, fatalisitik dan menderita karena kurang pendidikan.[5]
Kitapun bisa untuk membingkai Muhammadiyah dengan menggunakan teori atau definisi ini. Jika dipahami, teori kemiskinan dari Darwinian diatas mengandung unsur sebab-akibat orang jatuh miskin, menjelaskan orang jatuh miskin akibat perbuatan mereka sendiri. Disebabkan karena mereka yang malas, tidak bekerja keras, menggunakan uang untuk berjudi, mabuk-mabukkan dan sifat-sifat tercela lainnya sehingga mengakibatkan mereka jatuh miskin dan bangkrut. Dan apabila dijadikan analogi dalam memahami Muhammadiyah, akan timbul pertanyaan dalam bingkai sebab-akibat. Kenapa orang kenal dengan Muhammadiyah? Kenapa orang Jatuh cinta pada Muhammadiyah dan masuk kedalam Muhammadiyah kemudian berMuhammadiyah?
Kalau dicermati, kebanyakan dari para kader Muhammadiyah memiliki cirri-ciri khusus dalam bermuhammadiyah. Salah satunya adalah mereka telah jatuh cinta pada Muhammadiyah. Kemudian mencintai Muhammadiyah sepanjang hidupnya. Proses jatuh cinta seseorang kepada Muhammadiyah dapat bermacam-macam. Diantaranya: ada yang bercerita, dia jatuh cinta kepada Muhammadiyah secara berlahan-lahan. Karena sering mengikuti orang tuanya yang juga aktivis persyerikatan Muhammadiyah dan dia sering diajak ikut pengajian dan pertemuan yang diadakan oleh Muhammadiyah. Dia juga kenal dengan Muhammadiyah sejak sekolah, yaitu sekolah Muhammadiyah yang ada di desanya. Setelah kuliah dia berkeja menjadi guru, kemudian menikah dengan aktivis NA. saat berumah tangga dan punya anak satu, dia mulai sadar, ternyata diam-diam telah jatuh cinta kepada Muhammadiyah. Ia pun makin giat dalam persyerikatan.
Ada pula cerita kader Muhammadiyah sejati yang bercerita bahwa pada mulanya dia tidak suka pada Muhammadiyah. Akan tetapi ketika dia sakit dan dirawat di PKU Muhammadiyah, diapun spontan jatuh cinta kepada Muhammadiyah. Ia sangat mengahumi para perawat yang ramah, dokter yang sungguh-sungguh dalam merawat dia, manajemen Rumah Sakit yang rapi, suasana rumah sakit yang tenang, dan terasa religious. Waktu itu dia kaget dan merasa menyesal kenapa dia pernah tidak suka kepada Muhammadiyah. Sepulang dari rumah sakit dia lansung mendatangi tokoh Muhammadiyah untuk menyatakan maksudnya bergabung dengan Muhammadiyah. Pilihan untuk bergabung ini ternyata sangat pas. Sebab, dia dapat mengekpresikan cintanya pada Islam lewat Muhammadiyah. Dan bagi Muhammadiyah sendiri bergabungnya orang ini merupakan factor plus. Sebab, pada waktu-waktu berikutnya dia selalu berjuang di Muhammadiyah, bersama Muhammadiyah dan untuk Muhammadiyah.[6]
Antara teori kemiskinan yang mengandung unsure sebab akibat orang jatuh miskin, ternyata satu makna dengan orang Muhammadiyah yang tanpa sebab yang mereka sadari mereka telah jatuh cinta kepada Muhammadiyah. Melalui Teori Kemiskinan ini kita bisa mengkaji Muhammadiya lebih banyak dan lebih mendalam. Serta bisa juga mengungkap cerita-cerita tentang kader-kader sejati Muhammadiyah yang jatuh cinta kepada Muhammadiyah melalui berbgai jalan. Paradigmatic dalam menggunakan teori ini kedalam Muhammadiyah menggunakan pemikiran analogi.
4.      Mengkaji Muhammadiyah menggunakan Teori Getak Sejarah.
Dalam membicarakan perkembangan sejarah peradaban manusia, berbagai pandangan mencoba untuk memberikan gambaran. Umumnya kita mengenal pembagian  teori gerak sejarah. Salah satu bunyi adalah : sejarah digambarkan dalam perkembangan yang sangat oportunitis bahwa peradaban manusia  berkembang secara “linear” (garis lurus). Asumsi dari pemikiran ini adalah peradaban manusia itu akan bertambah maju bersama waktu tanpa suatu akhir. Dasar asumsi ini adalah seperti yang dikemukakan oleh August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903), adalah kepercayaan terhadap kesempurnaan kemampuan manusia yang tidak terbatas, kecuali usia bumi tempat manusia hidup.
Pada umumnya penganut teori ini percaya bahwa sungguhpun perkembangan masyarakat berlansung lambat (evolusionistis), tetapi masyarakat itu secara pasti berkembang kearah yang lebih baik.[7] Jika kita memahami Muhammadiyah dengan berkecamatakan teori Getak Sejarah ini, juga memiliki pemikiran yang sama dengan orang-orang yang memahami teori ini. Muhammadiyah memiliki tujuan untuk “mewujudkan masyarakat Islam yang  sebenar-benarnya”, masyarakat yang sebenar-benarnya yang dimaksud adalah (salah satunya) masyarakat yang selalu mengindahkan kandungan Al-qur’an dan membawa perubahan kepada hal-hal yang lebih baik.
Jika dilihat dari kandungan isi dari maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam sehingga terwujud masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Prof. K.H Farid Ma’ruf yang diberi oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah bagian pendidikan dan pengajaran pada tahun 1966 menulis buku berjudul “Penjelasan Tentang Maksud dan Tujuan Muhammadiyah”. Kalimat Menegakkan danMenjunjung Tinggi Agama Islam Sehingga Terwujud Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya mengandung arti membangun memelihara dan memegang teguh agama Islam dan menanam rasa cinta dan taat kepada ajarannya, melebihkan ajaran Islam dari ajaran-ajaran lain.[8]
Daftar Pustaka
Baidhawy, Zakiyuddin. Teologi Neo Al-Maun Manifesto Islam Menghadapi Globalisasi Kemiskinan Abad 21. 2009. Yogyakarta: Civil Islamic Institude
Biyanto. Teori Siklus Peradaban Perspektif Ibnu Khaldun. 2004. Surabaya: LPAM
Jabrohim. Muhammadiyah Gerakan Kebudayaan yang Berkemajuan. 2010. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Maulana, Ahmad. Kamus Ilmiah Populer Kengkap. 2008. Yogyakarta: Absolut
Nashir, Haedar Dr. Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan. 2010. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Sucipto, hary dan Nadjamuddin Ramly. Tajdid Muhammadiyah Dari Amad Dahlan sampai A. Syafi’i Ma’arif. 2005. Jakarta Selatan: Grafindo
Sumber : Tulisan Peserta DAM  PC IMM Sukoharjo


[1] Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, 2008, Absolut: Yogyakarta hal 500
[2] Hery Sucipto dan Nadjamuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah, 2005, Grafindo Khazanah IImu, Jakarta Selatan Hal 28
[3] Hery Sucipto dan Nadjamuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah, 2005, Grafindo Khazanah IImu, Jakarta Selatan Hal 29
[4] Hery Sucipto dan Nadjamuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah, 2005, Grafindo Khazanah IImu: Jakarta Selatan Hal 30-31
[5] Zakiyuddin Baidhawy, Teologi Neo Al-Ma’un Manifesto Islam Menghadapi Globalisasi Kemiskinan Abad 21, 2009, Civil Islamic Institute: Yogyakarta hal 78
[6] Jabrohim, Muhammadiyah Gerakan Kebudayaan yang Berkemajuan, 2010, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hal 35-37
[7] Biyanto, Teori Siklus Peradaban, 2004, LPAM: Surabaya, hal 18
[8] Dr. Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, 2010, Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, hal 323

0 komentar: