Kita tidak dapat mengklaim bahwa kita
sudah memenuhi kalimat “tiada Ilah selain Allah” artinya kita sudah berAqidah
benar, terhindar dari kemusyrikan dalam beribadah, dan semua pengadilan kita
sudah menerapkan syariat Allah – bila kita masih saja terbelakang dalam bidang
ilmu pengetahuan, ekonomi, peradaban, moral, sosial dan pemikiran. Kemudian kita diam berpangku tangan
dan tidak berusaha mengubah keadaan. Kalimat “tiada Tuhan selain Allah”
menyuruh kita melepaskan semua belenggu itu. Berbagai arahan Allah dan
Rasul-Nya dalam masalah ini cukup jelas dan harus ditaati umat Islam, baik secara
individu maupun kelompok (Muhammad Quthb)
Seringkali ketika membicarakan
kemurnian dan urgensi makna Aqidah, kita hanya akan menariknya pada satu kutub:
penyucian jiwa dan porsinya lebih besar pada aspek ruhiyah dan ibadah mahdhah.
Penulis
pun awalnya diminta untuk mengisi tema ini dengan suasana “ngeruhiy banget.”
Tidak sepenuhnya salah memang, namun
untuk memurnikan (ta’shil) berarti kita harus mengembalikan sesuatu pada
asalnya, membuka kembali apa yang menutupinya, dan membersihkan dari segala
sesuatu yang menodainya. Nah, bila Aqidah hanya dipahami semata-mata
sebagai aspek penyucian jiwa pribadi yang tidak terimplementasi dalam aspek
kehidupan lain, maka yang terjadi bukan pemurnian, melainkan degradasi dan
penyempitan makna.
Bayangkan, bagaimana pandangan Anda terhadap seorang muslim
yang sangat ketat perhatiannya terhadap shalat di awal waktu sementara di aspek
lain tugas-tugas kerjanya diselesaikan melebihi batas waktu? Bagaimana
pandangan Anda terhadap seorang muslim yang sangat ketat perhatiannya terhadap
dzikir dan doa sementara malas dalam bekerja? Bagaimana pula dengan seorang
muslim yang bertahun-tahun membaca kitab akhlak sementara hubungan sosialnya
sangat kaku dan cenderung keras? Apakah itu makna kemurnian Aqidah?
Atau dalam level kolektif, bagaimana pandangan Anda terhadap
negara kita yang menjadi salah satu penyumbang jamaah ibadah haji terbesar,
sementara di satu sisi juga menjadi negara terkorup? Bagaimana pula pandangan
Anda terhadap dunia Islam secara umum yang memiliki doktrin “al-islamu ya’lu
wala yu’la ‘alaih” (Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi
darinya), namun masih tertinggal? Bahkan di beberapa belahan dunia diinjak-injak
dan dipermainkan tanpa punya kekuatan untuk sekedar mengangat muka di hadapan
negara lain. Apakah sekedar itu makna Aqidah?
Oleh karena itu Muhammad Quthb dalam
pernyataannya di atas hendak membuka kembali tabir makna Aqidah yang telah
disempitkan dalam bilik-bilik ruhani yang sebenarnya kosong dan gersang dalam
implementasi (jafaaf ruuhi). Sebagaimana seorang Jamaluddin al-Afghani pernah menyindir
kita saat melancong ke negara yang nonmuslimnya mayoritas, “Saya melihat
Islam di sini walaupun tidak melihat banyak orang Islam. Sementara di negara
mayoritas muslim, saya lihat banyak orang Islam tapi tidak melihat Islam.”
Artinya, selama ini Aqidah kita miskin implementasi dan
diterapkan secara parsial. Padahal, ia seharusnya bukan hanya mencakup masalah ruhiyah,
tapi juga manhajiyah, fikriyah bahkan implementasi jasadiyah.
Aqidah kita, yang secara ringkas terangkum dalam dua kalimat syahadat, belum
mampu menjadi asasul inqilab (dasar-dasar perubahan) yang signifikan
dalam kehidupan dari level individu hingga umat. Padahal, inilah urgensi
terbesar dari kekuatan Aqidah. Itu pula yang dahulu mengubah tatanan sosial
masyarakat Islam secara revolusioner dan progresif tanpa melupakan masalah
kekhusyukan ruhani.
“Dan apakah orang yang sudah mati
kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang
dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia,
serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali
tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang
kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” (Al-An’am: 112)
Bukankah sirah Rasul sudah sering kita dengar? Shalatnya
yang khusyuk dan panjang, tidak bertolak belakang dengan penunaian amanat
dunianya. Ia adalah orang yang sangat menghargai waktu dan menepati janji.
Bekerja ihsan, seakan-akan melihat Allah dan dalam pengawasan-Nya.
Menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Memperhatikan ilmu dan pengembangan
ekonomi umat. Doa dan dzikirnya tidak mengurangi kerja-kerja taktisnya.
Kelembutan tidak mengurangi heroismenya di medan laga, puluhan perang telah
dilalui dalam usianya yang di atas 40 tahun.
Dr. Yusuf Qardhawi menulis dalam buku al-Iman
wal Hayat, “Pengaruh iman bagi pembaharuan jiwa sesungguhnya tidak
diragukan lagi. Berbagai kejadian cukup menjadi saksi. Ahli-ahli sejarah kagum
melihat perubahan besar yang dialami bangsa Arab sesudah mereka disinari cahaya
iman. Dari
suku-suku berpecah belah menjadi umat yang bersatu. Dari lemah menjadi kuat.
Dari penggembala binatang ternak, menjadi bangsa-bangsa dan pembentuk
kebudayaan baru. Perubahan yang luar biasa ini terjadi dalam masa singkat.
Bukan berpuluh tahun dan bukan berpuluh abad, melainkan dalam masa yang tidak
lebih dari 23 tahun. Perubahan ini adalah karena pengaruh iman, yang ditanamkan
oleh Nabi Besar Muhammad Saw dalam jiwa sahabat dan pengikut-pengikutnya.
Mereka berpindah dari masa jahiliyah ke zaman Islam. Dari memuja berhala kepada
menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Dari suku-suku bangsa yang terpencil menjadi
umat yang menulis sejarah baru dengan tinta keemasan.”
Jadi seharusnya, iman itu berdampak
bukan hanya ketenangan jiwa, tapi terasa dan terlihat dalam kehidupan sosial,
bahkan yang sifatnya kerja-kerja duniawi. Di antaranya, Yusuf Qardhawi menulis
bahwa Aqidah, iman, dan tauhid itu bisa memperbesar prestasi kerja, di antara
indikatornya meningkatkan produksi, mengerjakan sesuatu dengan ihsan,
menghargai waktu, produktifitas tinggi tanpa alasan terhambat ibadah, dan mampu
memakmurkan bumi dengan kerja-kerja kita.
Muhammad Quthb juga menulis bahwa
sebenarnya Aqidah, kalimat “la ilaha illaLlah,” mengandung
tuntutan-tuntutan yang sebenarnya telah ditunjukkan dalam sirah. Tuntutan itu mulai dari yang mahdhah
sampai ghairu mahdhah. Dari tuntutan keimanan, penyembahan, legislasi,
moral, pemikiran, peradaban, bahkan sampai ekpresi seni.
Lalu mengapa kita sering terjebak pada penyempitan makna Aqidah?
Muhammad Quthb memaparkan beberapa faktor utamanya dalam buku Laa Ilaha
IllaLlah: sebagai Aqidah Syariah dan Sistem Kehidupan. Pertama, pandangan
yang hanya menganggap bahwa iman terbatas hanya pada pembenaran hati yang
dikukuhkan lisan, sementara amal sering diabaikan dalam cakupan iman. Kedua,
perilaku sufisme yang fatalistik, menafikkan bahwa Islam merupakan agama
amal dan perjuangan dalam kehidupan nyata, agama jihad dan pengorbanan
untuk menegakkan sistem Rabbani dalam dunia nyata. Ketiga, invasi
pemikiran yang dilakukan pihak eksternal yang khawatir bila Islam akan kembali
bangkit jika Aqidah umatnya terimplementasi sempurna.
Oleh karenanya, Muhammad Quthb
menegaskan bahwa kebangkitan Islam dituntut untuk menghidupkan kembali
vitalitas dan efektifitas kalimat “tiada Tuhan selain Allah” seperti dulu, di
samping juga membersihkan noda-noda yang mengotori kalimat syahadat ini selama
berabad-abad lalu… Dulu kalimat ini berdampak nyata dalam kehidupan umat Islam
dan menjadi pelita yang menerangi seluruh umat manusia, sehingga mereka keluar
dari kegelapannya, bahkan orang-orang yang belum masuk ke dalam Islam banyak
mengambil manfaat darinya… Kalimat syahadat ini terpelihara dalam Kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya Saw. karena memang Allah yang bertanggung jawab memeliharanya. Tugas
kita adalah membukakan pintu hati kita terhadap kalimat itu dan memenuhi segala
tuntutannya. WaLlahu a’lam. (dari berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar