Kader sebagai seseorang
yang telah menyetujui dan meyakini kebenaran suatu tujuan dari suatu kelompok
atau jama’ah tertentu, kemudian secara terus menerus dan setia turut berjuang
dalam proses pencapaian tujuan yang telah disetujui dan diyakini itu (Imawan
Wahyudi, 2002:9). Tentunya yang menjadi wadah utama seorang kader
dalam beraktualisasi adalah organisasi. Organisasi adalah suatu
kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Berbagai golongan massa, seperti klas buruh, kaum tani, nelayan,
intelektual progresif : pemuda dan pelajar, wanita dll, mengorganisasikan diri
dalam organisasi-organisasi massa. Organissi massa (ormas) diperlukan untuk
memperjuangkan kepentingan kepentingan mereka yang sederhana seperti
kepentingan ekonomi, hak-hak dasar mereka dan sebagainya.
Himpunan Mahasiswa Islam
yang juga sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan, bukan hanya berfungsi
sebagai organisasi massa tetapi juga merupakan organisasi pengkaderan. Dimana selain merupakan tempat berkumpulnya orang-orang
dengan tujuan yang sama, organisasi pengkaderan juga memiliki tangung jawab
untuk terus mencari kader-kader baru, mendidiknya dalam sebuah pelatihan, serta
melakukan pengawasan dan aktivitas untuk mengambangkan potensi kader yang
kesemuanya itu diatur dalam sebuah sistem yang diciptakan oleh organisasi
pengkaderan itu sendiri.
Urgensi Pengader
Selanjutnya HMI berperan
untuk melahirkan kader-kader yang berfungsi sebagai pemimpin umat dan bangsa.
Kondisi ini mengharuskan HMI memiliki kualifikasi lebih tinggi dibandingkan
dengan masyarakat terutama mahasiswa pada umumnya. Cerminan dari kualifikasi
tersebut harus diaktualisasikan dalam ide-ide dan perjuangan HMI. Pengkaderan
non sectarian menjadi syarat berikutnya, dimana kader HMI harus siap “dilempar”
di masyarakat kebanyakan untuk mengarahkannya kepada nilai-nilai islam tanpa
melihat perbedaan budaya dan ideology.
Pengader sebagai kader HMI
yang mempunyai kualifikasi lebih tinggi, karena merupakan sosok kepribadian
yang utuh sebagai pendidik, pemimpin dan pejuang (Pedoman Pengader, 2006). Sehingga
harus dapat menentukan perlakuan yang sesuai terhadap kader yang pada umumnya
berada di usia peralihan dari remaja ke dewasa, dimana rawan mengalami
disorientasi hebat. Jangankan memastikan apa yang harus dikerjakan, angan
tentang cita-cita saja makin dipenuhi ketidakpastian. Dalam hal menentukan
cita-cita, kita kalah dengan anak SD yang bisa dengan gamblang menyebutkannya
dengan penuh optimis. Itulah yang saya maksud dengan proses pengerdilan diri.
Kita jadi merasa makin takut menatap masa depan hingga lupa ke mana akan pergi.
Rumus sederhana Kiyosaki untuk menggapai cita
menarik untuk diterapkan dalam usaha seorang pengader . Rumusnya sederhana
saja, dengan tiga variabel. “Do”,“have”,dan “be”. Melakukan, memiliki, dan
menjadi sesuatu (atau seseorang). Untuk bisa menjadi seorang pengader
sebenarnya setiap orang harus melakukan/mengerjakan apa-apa yang ditentukan
dalam pedoman pengkaderan HMI, sekaligus merasa memiliki segala nilai yang
menjadi landasan dan tujuan HMI yang termuat dalam AD/ART, secara khusus pada pedoman pengkaderan.
Jika hanya “memiliki”, maka yang dipunyai hanya kepura-puraan tanpa dapat
membrikan sumbangsih nyata bagi penanaman nilai-nilai ke-HMIan. Demikian pula
jika hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang pengader, maka itu
hanya imitasi.
Nilai intelektualitas sebagaimana
yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rakhmat, bahwa intelektual bukan hanya
menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh
gelar sarjana, juga bukan sekedar ilmuwan yang berupaya mendalami penalaran dan
penelitian dalam mengembangkan spesifikasi keilmuwannya. Intelektual adalah
mereka yang merasa terpanggil hatinya untuk memperbaiki masyarakatnya,
menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat difahami
berbagai kalangan, kemudian menawarkan strategi dan alternatif pemecahan
masalahnya. Inilah salah satu yang dapat dijadikan telaah pengader HMI dalam
melakukan pembacaan atas pergeseran paradigma berpikir kader yang disebabkan
oleh gagal karena tak punya potensi yang bisa dibanggakan, mungkin bukan jenis
cerita yang istimewa. Tapi juga tak sedikit
kader yang justru gagal karena dirinya menyimpan banyak potensi. Kader jenis
ini biasanya lantas punya banyak ide dan keinginan. Keinginan dan ide yang
terlalu berlimpah malah jadi bencana jika tak dikelola dengan benar. Harus ada
skala prioritas dan pemikiran strategis pengader dengan nilai intelektualnya
untuk membatasi lubernya ide.
Kesadaran
Kritis
Pengader juga harus bisa berfungsi sebagai guru
dalam artian menjadi menyelenggarakan pendidikan. Unsur pendidikan sendiri,
Freire menggarisbawahi terdapat tiga unsur fundamental yakni; pengajar, peserta
didik dan realitas dunia (Mansour Faqih, Roem Topatimasang, Toto Rahardjo : 2001
: 40) Hubungan antara unsur pertama dengan unsur kedua seperti halnya teman
yang saling melengkapi dalam proses pembelajaran. Keduanya tidak berfungsi
secara struktural formal yang nantinya akan memisahkan keduanya. Bahkan Freire
mengidentifikasi bahwa hubungan antara pengajar dan peserta didik yang bersifat
struktural formal hanya akan melahirkan “pendidikan gaya bank” (banking concept
of education).
“Pendidikan gaya bank”
merupakan pola hubungan kontradiksi yang saling menekan. Ketika pengajar (guru)
ditempatkan pada posisi di atas, maka peserta didik (murid) harus berada di
bawah dengan menerima tekanan-tekanan otoritas sang guru. Oleh karena itu
pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan penindasan dan tidak sesuai dengan
fitrah. Freire lebih menghendaki bahwa hubungan antara guru dan murid (pengader
dan kader) seperti halnya seorang teman atau partnership. Dengan model hubungan
seperti ini memungkinkan pendidikan itu berjalan secara dialogis dan
partisipatoris. Posisi pengajar dan peserta didik oleh Freire dikategorikan
sebagai subyek “yang sadar” (cognitive). Artinya kedua posisi ini sama-sama
berfungsi sebagai subyek dalam proses pembelajaran. Peran guru hanya mewakili
dari seorang teman (partnership) yang baik bagi muridnya. Adapun posisi realitas
dunia menjadi medium atau obyek “yang disadari” (cognizable). Disinilah manusia
itu belajar dari hidupnya. Dengan begitu manusia dalam konsep pendidikan Freire
mendapati posisi sebagai subyek aktif. Manusia kemudian belajar dari realitas
sebagai medium pembelajaran. Bekal inilah yang dapat digunakan untuk mengubah
kondisi sosial masyarakat tertindas, yaitu Freire menggagas gerakan
“penyadaran” (William A. Smith : 2001 : xvii). Sebagai usaha membebaskan
manusia dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu yang selalu
menakutkan.
Dalam hal ini Freire
memetakan tipologi kesadaran manusia dalam empat kategori; Pertama, Magic
Conscousness, Kedua Naival Consciousness; Ketiga Critical Consciousness dan
Keempat, atau yang paling puncak adalah Transformation Consciousness.
1.
Kesadaran Magis merupakan jenis kesadaran paling
determinis. Seorang manusia tidak mampu memahami realitas sekaligus dirinya
sendiri. Bahkan dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya ia lebih percaya pada
kekuatan taqdir yang telah menentukan. Bahwa ia harus hidup miskin, bodoh,
terbelakang dan sebagainya adalah suatu “suratan taqdir” yang tidak bisa
diganggu gugat.
2.
Kesadaran Naif adalah jenis kesadaran yang sedikit berada
di atas tingkatan-nya dibanding dengan sebelumnya. Kesadaran naif dalam diri
manusia baru sebatas mengerti namun kurang bisa menganalisa persoalan-persoalan
sosial yang berkaitan dengan unsur-unsur yang mendukung suatu problem sosial.
Ia baru sekedar mengerti bahwa dirinya itu tertindas, terbelakang dan itu tidak
lazim. Hanya saja kurang mampu untuk memetakan secara sistematis
persoalan-persoalan yang mendukung suatu problem sosial itu. Apalagi
untuk mengajukan suatu tawaran solusi dari problem sosial.
3.
Kesadaran
Kritis adalah jenis paling ideal di antara jenis kesadaran sebelumnya.
Kesadaran kritis bersifat analitis sekaligus praksis. Seseorang itu mampu
memahami persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta mampu
menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Disamping itu ia mampu menawarkan
solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial.
4.
Kesadaran Transformative adalah puncak dari kesadaran
kritis. Dalam istilah lain kesadaran ini adalah “kesadarannya kesadaran” (the
conscie of the consciousness). Orang makin praksis dalam merumuskan suatu
persoalan. Antara ide, perkataan dan tindakan serta progresifitas dalam posisi
seimbang. Kesadaran transformative akan menjadikan manusia itu betul-betul
dalam derajat sebagai manusia yang sempurna.
Setelah melewati proses
penyadaran, pendidikan di HMI yang berbekal dari proses ideologisasi akan mampu
membebaskan manusia dari belenggu hidup. Dalam proses akhir ini, pendidikan
akan membebaskan kader sebagai manusia sekaligus mengembalikan pada
potensi-potensi fitri. Arti “kebebasan” (liberation) adalah pembebasan manusia
dari belenggu-belenggu penindasan yang menghambat kehidupan secara lazim.
Disinilah peran pengader ditekankan demi mengungkap kesadaran kader dan
melahirkan sikap kritis yang merupakan manifestasi dari sikap seseorang yang
mampu memahami kondisi sosial serta dirinya dalam pergumulan secara langsung
dengan manusia lain.
Memandang proses
perkaderan bukanlah mengidentikkan mesin produksi dari industri yang melahirkan
produk sesuai prosesannya. Dan fungsionaris perkaderan (para ideology, trainer)
bukanlah buruh pabrik yang hanya menjadi pengawas proses yang berjalan.
Mengidentikkan proses perkaderan dengan mesin sama saja menempatkan perkaderan
kita sebagai sebuah bentuk aktivitas passif[1] yang
berjalan. Sehingga cetakan perkaderan adalah cetakan passif yang anti dialektik
dan cenderung menempatkan perkaderan sebagai bentuk penunggalan dimensi hasil
olahan manusia[2].
Disadari atau tidak kejumudan organisasi ini telah menempatkan ruang-ruang
perkaderan sebagai aktivitas jumud dan sama sekali tidak menarik karena hanya
menjadi formalitas organisasi yang sama sekali tidak diberi gambaran visioning.
Pertama bahwa kondisi
harusnya tidak membuat kita menjadi stagnan. Minimal menjadi stagnan dalam
bergerak dan kritis terhadap kondisi ini. Apapun alasannya pilihan untuk
bergerak dan idealis adalah harga mati untuk membangun kembali perkaderan HMI
ini. Kedua bahwa kita harus mulai meluruskan kembali konsep-konsep
ketidaknyambungan arah ini menuju jalan yang semestinya. Selama HMI tidak bisa
menjawab tantangan kebutuhan maka selamanya pula HMI tidak lagi menjadi Harapan
Masyarakat Indonesia, sebagaimana yang diungkapkan oleh Panglima Besar Jenderal
Soedirman. HMI hanya akan menjadi katub politik baru bagi mobilitas vertical
kader-kadernya. Selayaknya pembentukan kader profetik yang menjadi ummy bagi
kelas social dan masyarakatnya menjadi pilihan atas kejumudan ini. Dan awal
dari langkah tersebut adalah membangun basis perkaderan yang profetik dan mampu
menjawab tuntutan kebutuhan kaum Mustadz’afin Negara bangsa ini.
Meminjam kembali
istilahnya Sartre, kita harus melakukan passivitas aktif. Kita harus aktiv
ditengah cetakan pasif yang ada ini. Artinya kita membangun kembali egalitarian
perkaderan dan pengembalian konsepsi perkaderan ke dasar awal kelahirannya.
Mengembalikan perkaderan menjadi sosok dan profil yang profetik, ummy
sebagaimana yang diamanatkan oleh landasan teologis organisasi ini. Perkaderan
yang siap mencetak kader-kader basis yang mampu menjawab kebutuhan
marginalisasi masyarakat.
“From religion to
Philosophy” adalah sebuah proses perubahan tradisi beragama yang berawal
dari sikap yang aktif dan emosional, menuju kepada sikap yang intelektual dan
spekulatif dalam menjalankan tradisi-tradisi keagamaan (Francis Cornford)
0 komentar:
Posting Komentar