Masa depan Muhammadiyah (pasca satu abad) ditentukan
kemampuan gerakan ini memahami realitas kehidupan warga yang jauh berbeda
dibanding saat kelahirannya dan memprediksi arah perubahan kehidupan warga
bangsa tersebut. Kini jurang kaya-miskin semakin tajam, pandai-tidak sekolah
makin tinggi, kebenaran-kebatilan bergerak dalam ruang yang sama hampir tanpa jarak,
warga yang berusaha saleh dan yang senang jadi teman setan hidup berdampingan.
(Mulkhan, 2009). Satu
abad merupakan tonggak sejarah yang penting bagi organisasi Muhammadiyah dalam
ikhtiar mengemban misi dakwah dan tajdid di tengah lintasan zaman yang penuh
gelora. Rentang seratus tahun Muhammadiyah telah berjuang mencerahkan kehidupan
umat, bangsa, dan peradaban manusia semesta. Perjuangan Muhammadiyah akhirnya
memperoleh pengakuan masyarakat luas sebagai gerakan Islam yang menorehkan
tinta emas pembaruan di Indonesia.
Mengkaji Muhammadiyah yang usianya sudah satu abad adalah suatu
pekerjaan yang sangat menantang dan menarik untuk dilakukan. Dengan karakternya
yang multiwajah, penulis mencoba mengkaji Muhammadiyah dengan tiga pendekatan,
yakni perspektif ideology, perspektif organisasi, dan perspektif gerakan. Dari
perspektif ideology saya mencoba menyajikan tulisan ini dengan pendekatan apa
yang melatar belakangi munculnya pemikiran tersebut dan menyimpulkan intinya
saja karena mengingat banyaknya konsep. Kemudian perpektif organisasi disajikan
dengan berbagai perangkat organisasi. Dan yang terahir perspektif gerakan,
secara garis besar dan sudah menjadi identitas Muhammadiyah maka akan
dijelaskan gerakan Islam, Dakwah sebagai Tajdid.
Semoga makalah yang sangat komperehensif ini dapat menjadi
pengantar dalam memahami Muhammadiyah secara menyeluruh, meskipn masih banyak
hal yang masih belum termuat secara keseluruhan, setidaknya inti dari setiap
bahasa-bahasan sudah cukup mewakili dalam memahami dan mengkaji Muhammadiyah
melalui pendekatan Ideologi, Organisasi, maupun Gerakannya.
Mengkaji Muhammadiyah Perspektif Teologis
Istilah
teologi dalam pemikiran Islam dapat disebut dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid.
Teologi lahir untuk menetapkan dalil-dalil rasional guna mempertahankan dan
membuktikan ke-esa-an Allah SWT. Pemikiran Teologi dalam Muhammadiyah mengalami proses
pelembagaan melalui Majelis dan institusi Tarjih yang dibentuk sejak tahun 1927
atas prakarsa Man Mansur. Dengan prinsip mencari dalil yang paling kuat,
sebenarnya tarjih potensial sebagai institusi yang memberi ruang leluasa untuk
diskursus tentang permasalahan dan pemikiran-pemikiran Islam dalam berbagai
aspeknya, yang di dalamnya berbagai pandangan yang kontra sekalipun dapat
dibahas dan dicarikan jalan keluarnya. Pembahasan Masalah Lima (al-Masail
al-Khams) tahun 1938 yang digagas Mas Mansur tentang hakikat agama, dunia,
ibadah, sabilullah, dan qiyas/ijtihad; merupakan contoh dari institusi tarjih
yang penting dalam membuka wacana atas
masalah-masalah atau pemikiran-pemikiran Islam yang fundamental. Pembahasan
tersebut kemudian dibawa ke Muktamar Khususi dan hasilnya dikodifikasi atau
diputuskan pada tahun 1954/1955 sebagaimana rumusannya terdapat dalam buku
Himpunan Putusan Tarjih (HPT) saat ini. Dalam secara umum memuat dua aspek yang fundamental, yaitu aspek
yang bersifat teologis dan fiqih.
Kyai
Dahlan memang tergolong unik dalam memahami dan mempelajari Al-Quran. Cara
mempelajari Al-Quran dari KH.Ahmad Dahlan selalu dimulai dari mengiupas melalui
pertanyaaan: Bagaimana artinya? Bagaimana tafsir keterangannya? Bagaimana
maksudnya? Apakah itu larangan dan kamu sudah meninggalkannya? Apakah itu
peritah yang wajib dikerjakan? Sudahkah kita menjalankannya? Jika belum
menjalankannya secara sesungguhnya maka jangan membaca ayat-ayat lainnya.
Inilah pendekatan Kyai Dahlan dalam memahami Islam, bukan sekadar dipahami,
tetapi harus diamalkan secara konsisten.
Teologi
Muhammadiyah atau tauhid dirumuskan dalam tarjih bahasan mengenai masalah
keimanan meliputi sekitar 68 masalah. Bahasan Tarjih mengenai masalah tersebut
mengenai masalah tersebut bersandar pada 98 ayat rujukan dan hadits sekitar 11
buah., Dalam membahas berbagai masalah, tarjih hamper tidak pernah mengutip
atau merujuk pada pendapat para ulama dan pemikitr terdahulu kecuali dibeberapa
tempat. Menunjuk ulama salaf tanpa menyebut nama. Dalam beberapa pendekatan
semacam ini memang dapat menghindar dari perbedaan pendapat para ulama’, namun
pada sisi lain Tarjih kurang dialogis dan kurang memecahkan mengenai perbedaan
it sendiri. Kemudian peran akal dan kemerdekaan pikiran kurang mendapatkan
peranan. (Mulkhan, 1994: 107-109).
Teologi
Muhammadiyah menganai nilai-nilai aqidah, atau
keimanan harus teraktualisasi dalam kehidupan bukan
sekedar norma, ini yang diperlukan. Misalnya paham akidah Muhammadiyah itu
bukan sekedar anti TBC dalm konteks masa lampau, tetapi juga menawarkan
alternatif. Bagaimana tauhid itu bisa menjadi gerakan pencerahan, menjadi
nilai-nilai yang menggerakan pencerahan, tauhid yang membebaskan, tauhid yang
memberdayakan, tauhid yang memajukan khidupan dengan nilai-nilai illahiyah yang
kokoh, bukan tauhid yang anti, anti tapi tidak menawarka solusi. (Haidar, 2010). Yaitu tauhid atau keimanan yang bersifat
pembebasan, pemberdayaan, dan yang memajukan.
Teologi Transformatif
Teologi
Transformatif dapat kita jumpai dalam Muhammadiyah yaitu Gerakan Al-Ma’un jika
dikaitkan dengan konteks mutakhir dapat dikatakan sebagai gerakan keagamaan
untuk pembebasan kaum dhu’afa dan mustadh’afin. Yakni gerakan untuk membela dan
memebaskan kaum tertindas, teraniaya, terlemahkan, dan termarjinalisasikan
secara personal, kulural, dan struktural. Tuhan, para Nasbi/Rasul, dan Islam
memihak kaum mustadh’afin. Nabi menyuruh membebaskan orang dhalim (yang menganiaya)
dan madhlum (yang teraniaya) dengan jalan mencegahnya agar tidak terjadi
kedhalinman. Kaum mustadh’afun terkait dengan aspek dhu’afa (mereka yang
lemah), mustadh’if (aktor yang melemahkan, yang menindas) dan istidh’af (proses
sampai sistem yang melemahkan, yang menindas). Dalam kaitan ini Islam dalam
totalitas ajarannya perlu menjadi agama transformatif, yakni agama untuk
perubahan sekaligus sebagai agama untuk peembebasan. Islam yang demikian,
sebagaimana Al- M’aun, yang disebut sebagai teologi pembebasan (theology of
liberation).
Menurut
Asghar Ali Engineer, Islam itu sesungguhnya merupakan agama pembebasan atau
teologi pembebasan. Tauhid bahkan merupakan inti ajaran Islam yang mengandung
dimensi pembebasan. Teologi pembebasan ialah teologi praksis Islam yang
revolusioner, yang menjadikan Islam sebagai agama yang mengubah status-quo dan
membebaskan kaum tertindas dan tereksploitasi. Perspektif teologi pembebasan
dalam Islam menjadikan Tauhid bukan semata-mata sebagai ajaran yang mengandung
prinsip Keesaan Allah semata, tetapi mengintegrasikannya dengan kesatuan hidup
umat manusia untuk mewujudkan struktur kehidupan yang berkeadilan dan
berkebajikan (al-’Adl wa al-Ahsan). Menurut Asghar Ali, orang yang
bertauhid tidak akan semena-mena, menyeleweng, dan menindas sesama meskipun
dirinya berkuasa. Inilah Islam sebagai ajaran pembebasan.
Islam
menjunjung tinggi amal (perbuatan) setara dengan iman. Terdapat 360 kata
tentang ”amal” dalam berbagai sighat dalam Al-Quran, yang menggambarkan betapa
Tuhan meletakkan konsep amal sedemikian penting. Esensi dasarnya ialah, Islam
selain memandang penting tentang amal, tetapi lebih konkret lagi bahwa bentuk
manifestasi Islam hanyalah dalam amal, dengan kata lain Islam hanya
teraktualisasi dalam amal. Konsep amal dalam Islam berdimensi luas, baik yang
bersifat material maupun spiritual, duniawi maupun ukhawi. Amal terkait dengan
fungsi ibadah dan kekhalifahan manusia di muka bumi. Amal terkait dengan
perbuatan manusia, jika baik maka hasilnya baik, sebaliknya jika buruk akan
menuai buruknya. Amal terkait dengan kerja atau ikhtiar. Amal terkait dengan
pahala, baik pahala di dunia maupun di akhirat. Amal (amal shalih) disertai
iman, bahkan terkait dengan corak kehidupan (hayatan thayyiban) di dunia dan
pahala kebaikan hingga tiket untuk masuk surga di akhirat. Karena itu amal
dalam Islam harus dibingkai dengan keshalihan, sehingga menjadi amal shalih,
sekaligus direlasikan dengan iman.
Amal
dalam Muhammadiyah bersifat konkret, artinya Muhammadiyah dalam mewujudkan
Islam sebagai ajaran dalam kehidupan haruslah nyata, kerana itu dikatakan
sebagai amal usaha. Namun langkah gerakan Muhammadiyah dalam bentuk usaha tidak
sekadar serangkaian kegiatan praktis tanpa fondasi dan tujuan yang mulia,
tetapi merupakan wujud dari dakwah atau misi Islam yang dijalankan
Muhammadiyah, karena itu dinamakan amal usaha. Jadi amal usaha ialah amal yang
diwujudkan dalam usaha dan usaha yang dilandasi nilai amal sebagaimana perintah
Allah agar manusia muslim selaku pribadi maupun kolektif beriman dan beramal
shaleh. Karena itu amal usaha dalam Muhammadiyah bukan sekadar serangkaian
langkah praktis semata tetapi miliki filosofi yang berpijak pada misi gerakan
Muhammadiyah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga
terwujud maasyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Karena itu Muhammadiyah melalui gerakan Al-Ma’un, pendidikan,
kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan amal usaha lainnya
sejak berdirinya hingga saat ini telah menghadirkan Islam dalam dunia nyata,
bukan sekadar norma dan dogma ajaran langit belaka. Langkah terobosan Kyai Haji
Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah generasi awal itu jelas merupakan gerakan dakwah
transformatif, sehingga dapat dikatakan sebagai teologi transformatif atau mirip dengan teologi pembebasan (theology
of liberation) yang belakangan berkembang di lingkungan Lembaga Swadaya
Masyarakat di seluruh dunia.
Mengkaji Ideologi Muhammadiyah
Konsep Ideologi
Ideologi
dibentuk oleh kata ‘ideo’ yang
berarti pemikiran, khayalan, konsep, atau keyakinan, dan kata ‘logos’ artinya logika, ilmu, atau
pengetahuan. Sehingga secara harfiah ideologi bermakna pengetahuan tentang ide,
keyakinan, atau tentang berbagai gagasan.. Musthafa dan Adaby (2005) menyatakan
bahwa setiap ideologi mengandung tiga unsur, yaitu: (1). Adanya suatu
penafsiran terhadap realitas (interpretasi) atau keyakinan hidup , (2). Memuat
seperangkat nilai atau cita-cita hidup, dan (3). Orientasi tindakan (program
aksi) untuk mewujudkan tujuan hidup yang dicita-citakan. Sebagaimana Hadjid
(2008: 36) menegaskan hendaknya kita memilih agama yang benar dan paham agama
yang benar. Karena itu sangat mempengaruhi jalan hidup.
Syariati
(1982:146), mendefinisikan makna ideology merupakan paham dan teori perjuangan
yang dianut kuat oleh kelompok manusia menuju pada cita-cita social tertentu
dalam kehidupan. Gerakan social apapun tidak lepas dari ideology, lebih-lebih
yang melekatkan dirinya dengan ideology. Ideology diperlukan untuk membangun
system, solidaritas, arah, mobilisasi anggota, dan strategi perjuangan sesuai
dengan prinsip suatu gerakan social, lebih-lebih gerakan keagamaan (haidar,
2010:195). Jadi ”ideologi Muhammadiyah” ialah ”seperangkat pemikiran dan sistem
perjuangan untuk mewujudkannya” atau ”sistem paham dan perjuangan untuk
mewujudkannya”, yakni ”paham Islam dan sistem gerakan Muhammadiyah” (Tanwir,
2007:44). Dari pemikiran itu maka ideology bukan sekedar perangkat paham atau
pemikiran, tetapi juga teori atau system perjuangan hingga strategi perjuangan
yang penting untuk mewujudkan cita-cita suatu masyarakat dalam kehidupan.
Karena itu suatu ideology apapun merupakan suatu system paham dan sekaligus
perjuangan, yang dilaksanakan dengan suatu gerakan yang sistematik dan penuh
militansi untuk mewujudkannya.
Ideology
sebagai system paham yang menyeluruh memang memiliki sifat kaku dan eksklusif,
tetapi itulah sifat ideology. Ketika suatu gerakan islam beridelogi pembaharuan
seperti halnya Muhammadiyah, maka ketertutupan dan kekakuan itu menjadi
ternetralisasi oleh orientasi moderasi dan pembaharuannya, sehingga bandul
ideologinya cenderung moderat. Oleh karena itu Muhammadiyah sering disebut
dengan gerakan islam moderat (tengahan; wasithiyah), sehingga tidak melahirkan
kesadaran palsu yang mengerangkeng kebenaran.
Ideologi Muhammadiyah
Rumusan
pokok-pokok persoalan tentang ideology “Keyakinan Hidup Muhammadiyah” disusun
oleh panitia tajdid seksi “ideology” “Keyakinan Hidup Muhammadiyah” dalam
muktamar ke-37 tahun 1968 dinyatakan bahwa ideology yaitu “Ajaran atau ilmu
pengetahuan yang secara sistematis dan menyeluruh membahas mengenai gagasan,
cara-cara, angan-angan atau gambaran dalam pikiran, untuk mendapatkan keyakinan
mengenai hidup dan kehidupan yang benar dan tepat”. Dinyatakan pula bahwa
ideology berarti “ Keyakinan Hidup”, yang mencakup “pandangan hidup, tujuan
hidup, dan ajaran dan cara yang digunakan untuk melaksanakan pandangan hidup
dalam mencapai tujuan hidup tersebut”. (PP Muhammadiyah, 1968:6).
Namun
karena pada waktu itu istilah ideology oleh rezim Orde Baru dikosntruksi hanya
berlaku untuk ideology Negara ditengah kebijakan politik yang monolitik dan
deideologisasi, maka Muhammadiyah menggunakan istilah “Keyakinan dan Cita-cita
Hidup”. Setelah Orde Baru tumbang dan lahir Era Reformasi tahun 1998, maka
istilah ideology tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang alergi dan mengancam
ideolgi Negara. Ideology Muhammadiyah bukan sekedar seperangkat paham atau
pemikiran belaka, tetapi juga teori dan strategi perjuangan untuk mewujudkan
paham tersebut dalam kehidupan. Karena itu yang dimaksud dengan “Ideology
Muhammadiyah”, ialah “System Keyakinan, Cita-cita, dan Perjuangan Muhammadiyah
sebagai gerakan islam dalam mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya”.
Adapun kandungan ideology Muhammadiyah ialah (1). Paham islam atau paham agama
dalam Muhammadiyah, (2). Hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dan (3).
Misi, fungsi, dan strategi perjuangan Muhammadiyah. (haidar,2010:198-199).
Pada
Era Kyai Mas Mansyur, tepatnya tahun 1938 dilahirkan konsep “Duabelas Langkah
Muhammadiyah” atau “Langkah Muhammadiyah tahun 1938-1942” yang mengandung
pokok-pokok pikiran seputar langkah organisasi yang penting, yaitu : (1).
Memperdalam masuknya iman, (2). Memperluas paham agama, (3). Memperbuahkan budi
pekerti, (4). Menuntun amalan intiqod, (5). Menguatkan persatuan, (6).
Menegakkan keadilan, (7). Melakukan kebijaksanaan, (8). Menguatkan Majelis
Tanwir, (9). Mengadakan konferensi bahagian, (10). Mempermusyawarahkan
keputusan, (11). Mengawaskan gerakan dalam, dan (12). Mempersambungkan gerakan
luar. (PP Muhammadiyah, 1939).
Pemikiran
ideologis semakin kuat tumbuh pada awal kemerdekaan dengan digagasnya konsep
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah tahun 1945 oleh Ki Bagus Hadikusuma
(Ketua PB Muhammadiyah periode 1942-1953), kemudian disahkan dalam sidang
Tanwir tahun 1961. Latar belakang dilahirkannya Muqaddimah AD Muhammadiyah
tersebut didasarkan atas perjalanan selama 30 tahun Muhammadiyah setelah
berdirinya yang mengalami dua kecenderungan, yaitu: pertama, ”terdesaknya
pertumbuhan dan perkembangan jiwa/ruh Muhammadiyah oleh perkembangan lahiriah”,
dan kedua ”masuknya pengaruh dari luar yang tidak sesuai yang sudah menjadi
lebih kuat” (baca: Penjelasan Muqaddimah AD, bab: Pendahuluan).
Pemikiran yang terkandung dalam Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah terdapat
enam hal yang bersifat fundamental, yakni: (1). Hidup manusia harus berdasar
tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah SWT ; (2). Hidup manusia bermasyarakat;
(3). Mematuhi ajaran-ajaran agama islam dengan keyakinan bahwa ajaran islam itu
satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan
dunia dan akhirat; (4). Menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam dalam
masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada
manusia; (5). I’tiba kepada langkah perjuangan nabi Muhammad SAW; (6).
Melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.
Selanjutnya
pemikiran yang bersifat peneguhan identitas dilanjutkan dengan rumusan
“Kepribadian Muhammadiyah” tahun 1962, lahir pada era kepemimpinan H.M. Yunus
Anis (1959-1962) dan diputuskan dalam muktamar ke-35 di Jakarta tahun 1962.
Kepribadian Muhammadiyah berfungsi sebagai landasan, pedoman, dan pegangan bagi
gerak Muhammadiyah. (Adaby, 2005: 226-231). Dalam matannya dibahas, Apakah
Muhammadiyah itu?, Dasar Amal Usaha Muhammadiyah, Pedoman Amal Usaha dan Perjuangan
Muhammadiyah, serta Sifat-sifat Muhammadiyah.
Perkembangan
ideology yang lebih monumental yang melatar belakangi dirumuskannya ideology
ialah kelahiran rezim politik Orde Baru dalam momentum muktamar ke-37 tahun
1968 di Yogjakarta melahirkan “Matan
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah” (MKCHM) dan “ Khittah
Perjuangan Muhammadiyah”, disamping konsep lain seperti Gerakan Jama’ah dan
dakwah Jama’ah (GJDJ), Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM)
mengandung lima pokok pikiran yang fundamental. Dalam penjelasan MKCHM kelima
pokok pikiran tersebut dikelompokkan ke dalam tiga aspek, yaitu butir pertama
dan kedua mengandung ”pokok-pokok persoalan yang bersifat ideologis”, butir ketiga
dan keempat tentang ”paham agama menurut Muhammadiyah”, dan butir kelima
tentang ”fungsi dan misi Muhammadiyah dalam masyarakat Negara Indonesia”
Pada
tahun 2000 dalam muktamar ke-44 di Jakarta dirumuskan konsep penting dan
mendasar yakni “ Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah” (PHIWM yang merupakan
seperangkat nilai dan norma islami yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah
untuk menjadi pola bagi tingkah laku warga Muhammadiyah dalam menjalani
kehidupan sehari-hari, sehingga terwujud masyarakat islam yang
sebenar-benarnya. PHIWM merupakan pedoman untuk menjalani kehidupan dalam
lingkup pribadi, keluarga, bernasyarakat, berorganisasi, mengelola usaha,
berbisnis, mengembangkan profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan
lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan
seni budaya, yang menunjukkan prilaku hasanah atau prilaku yang baik. (PP
Muhammadiyah, 2000).
Pada
muktamar ke-45 tahun 2005 di malang Muhammadiyah mengeluarkan konsep pandangan
dunia yang cukup penting yakni “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu
Abad” “Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn”,
sebagai manifesto Muhammadiyah dalam menghadapi dunia abad 21 ketika usianya
memasuki 100 tahun. Adapun kandungan isi pernyataan pemikiran Muhammadiyah
jelang satu abad tersebut menyangkut :
1. Komitmen gerakan; 2. Pandangan keagamaan; 3. Pandangan tentang
kehidupan; 4. Tanggung jawab kebangsaan dan kemanusiaan; 5. Agenda dan langkah
kedepan disertai kebijakan-kebijakan strategis Muhammadiyah memasuki usianya 1
abad.
Ideologi
Muhammadiyah dalam konteks keislaman dan keindonesiaan selain ditunjjukan
dengan sikap yang tegas dalam memandang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berfalsafah Pancasila juga menampilkan Islam sebagai ideology reformis atau
modernis. Dari pemikiran ideology Muhammadiyah sebagaimana terkandung dalam
pemikiran-pemikiran resmi yang bersifat ideologis semakin jelas bahwa posisi
gerakan Islam ini sebagai gerakan pembaharuan yang berideologi reformis atau
modernis. (Haidar, 2010: 209-211).
MUHAMMADIYAH PERSPEKTIF ORGANISASI
Deliar
Noer (1988: 84) menyebut Muhammadiyah sebagai oeganisasi social terpenting di
Indonesia sebelum Perang Dunia II. Sejak kelahirannya tahun 1912, Muhammadiyah memilih system organisasi sebagai
wadah menuju pencapaian tujuan dan cita-citanya. Organisasi bagi muhammadiyah
merupakan suatu keharusan atau keniscayaan karena melalui organisasi itulah perjuangan Islam dapat diwujudkan
secara lebih tersistem dan sebanyak mungkin menggunakan sumberdaya, sumberdana,
dan segala potensi yang dimiliki umat Islam. Sebagaimana dalam qaidah
ushuliyah, ma la yatimu al-wajib illa
bihi fa huwa wajib, bahwa (segala sesuatu menjadi wajib apabila
keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari sesuatu itu). QS ali-Imran ayat ke-104
bagi Muhammadiyah sebagai landasan lahirnya organisasi dakwah dan tajdid.
Organisasi Muhammadiyah sebagai alat perjuangan yang pastinya selain
menampilkan diri dalam system gerakan yang terorganisasi meliputi anggota,
infrastruktur, dan kepemimpinan, pada saat yang sama juga mengandung
usaha-usaha untuk mencapai maksud dan tujuannya.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dikelola dengan sitem
organisasi yang modern, karena itu disebut pula sebagai persyarikatan atau
dalam masa awal disebut dengan Perhimpunan Muhammadiyah (Haidar, 2010: 386).
Organisasi Muhammadiyah bersifat structural yang memiliki hirarki kepemimpinan
dari tingkat Pusat sampai tingkat Ranting di masyarakat. Hirarki kepemimpinan
itu terdiri dari Pimpinan Pusat (Nasional), Pimpinan Wilayah (Propinsi),
Pimpinan Daerah (Kota dan Kabupaten), Pimpinan Cabang (Kecamatan), dan Pimpinan
Ranting (Kelurahan/Desa atau area/region). Organisasi Muhammadiyah tersebut
lebig bersifat kesatuan, sehingga disebut dengan Persyarikatan Muhammadiyah.
Muhammadiyah memiliki badan hukum sendiri yang telah diakui sejak zaman
pemerintahan Kolonial sampai pasca kemerdekaan, sehingga keberadaannya baik
secara kesejarahan maupun hokum menjadi organisasi kemasyarakatan yang diakui
secara sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selama se-abad Muhammadiyah telah tersebar diseluruh Indonesia secara relative merata. Struktur
organisasi Muhammadiya tersebar di 33 Wilayah, 408 Daerah, 3.176 Cabang, dan
10.235 Ranting. Kegiatan diakar rumput dipusatkan pada 6.118 masjid dan 5.080
mushalla. Selain itu Muhammadiyah juga memiliki Cabang Istimewa di sejumlah
Negara seperti Mesir, Singapura, Syiria, Sudan, Iran, Perancis, Inggris,
Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Jepang, Malaisya, Australia, dan lain-lain
yang digerakkan oleh mahasiswa dan warga serta simpatisan Muhammadiyah Negara
setempat.
Selain itu,
Muhammadiyah juga memiliki sejumlah tujuh organisasi otonom yang mengembangkan
organisasi, usaha-usaha, dan tujuan khusus sesuai dengan karakter
masing-masing. ‘Aisyiyah adalah satu-satunya organisasi otonom khusus
Muhammadiyah yang memiliki cirri khusus, yakni kewenangannya dalam
menyelenggarakan amal usaha serta memiliki angoota yang pasti Muhammadiyah. Aisyiyah didirikan tanggal 27 Rajab 1335 H (22 April 1917 M) yang pada mulanya
menjadi bahagian, kemudian menjadi Majelis, selanjutnya menjadi organisasi
otonom khusus.
Organisasi otonom umum yang lainnya diantaranya yaitu, Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA,
berdiri tahun 1931). Pemuda Muhammadiyah (PM, berdiri tahun 1932) sebagai ortom
yang bergerak di dunia kepemudaan dan kemasyarakatan. Selain itu, Muhammadiyah
juga memiliki Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM, berdiri tahun 1964) bergerak
di dunia kemahasiswaan. Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM, berdiri tahun 1961)
yang menggarap kelompok atau dunia kepelajaran. Kemudian dua ortom lainya yaitu
TApak Suci Putera Muhammadiyah (TSPM, berdiri 1963) yang bergerak dalam
olahraga dan seni beladiri pencak silat, serta yang terahir adalah Hisbul
Wathon (HW, berdiri 1018) yang bergerak dalam kepanduan. Semuanya memiliki
focus gerakan tertentu dan menjadi pilar penting bagi gerakan Muhammadiyah.
Selain
memiliki organisasi otonom , juga memiliki Unsur Pembantu Pimpinan yaitu
Majelis dan Lembaga. Majelis bertugas menyelenggarakan amal usaha, program, dan
kegiatan pokok dalam bidang tertentu. Majelis dibentuk oleh Pimpinan Pusat,
Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, dan Pimpinan Cabang di tingkat masing-masing
sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan lembaga bertugas melaksanakan program dan
kegiatan pendukung yang bersifat khusus. (ART pasal 19). Dalam periode
kepemimpinan (2010-2015) terdapat 17 Unsur Pembantu Pimpinan, yaitu: Majelis Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam, Majelis Tabligh,
Majelis Pendidikan Dasar, Menengah dan Pesantren, Majelis Dikti, Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan
Masyarakat, Majelis Wakaf, Majelis Ekonomi, Majelis Pemberdayaan Masyarakat
(MPM), Majelis Lingkungan Hidup (MLH), Majelis Pustaka dan Informasi, Lembaga
Seni Budaya dan olahraga (LSBO), Lembaga Penelitian dan Pengembangan. Lembaga
Hukum dan HAM, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik, Lembaga Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Lembaga Zakat Infaq, dan Shadaqah (LAZIZ), dan
Lembaga Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri. (Berita
Resmi Muhammadiyah; Tanfidz Muktamar
satu Abad Muhammadiyah).
Kelembagaan
lain yang melekat dengan organisasi Muhammadiyah adalah mekanisme
permusyawaratan yang menjadi nafas dari gerakan Islam ini. Pada tingkat pusat
atau nasional bentuk permusyawaratan tertinggi ialah Muktamar diikuti dengan
Tanwir sebagai pranata permusyawaratan dibawah Muktamar. Pada tingkat wilayah
atau propinsi disebut dengan Musyawarah Wilayah dan Musyawarah Pimpinan
Wilayah, demikian seterusnya sampai ketingkat dibaawahnya. Pada masa KH A.
Dahlan permusyawaratan tertinggi organisasi diberi nama Rapat Tahunan, yakni 10
kali A. Dahlan dan 4 kali di masa K.H. Ibrahim (1912-1925),. Sejak tahu 1926
permusyawaratan diberi nama Kongres Tahunan sampai tahun 1941, yakni pada masa
kepemimpinan Kyai Ibrahim, Kyai Hisyam, dan Kyai Mas Mansur. Pada msa
kependudukan jepang dan awal kemerdekaan terjadi kevakuman musyawarah
Muhammadiyah, sehingga hanya dilakukan dua kali yakni Muktamar Darurat tahun
1944 dan silaturrahim se-Jawa tahun 1946, keduanya dibawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusuma. Sejak tahun 1950 permusyawaratan dinamai Muktamar
hingga saat ini. (Haidar, 2010: 391).
Hal
lain yang melekat dalam diri Muhammadiyah ialah tradisi demokrasi. Tradisi
demokrasi dalam Muhammadiyah sangan tersistem, tertata rapi, sehingga membangun
budaya egaliter dalam organisasi ini. Bahkan pada rapat TAhunan (Kongres,
Muktamar) telah masa KHA Dahlan telah dilakukan pemungutan suara terbanyak
(votting), apabila kemufakatan dalam musyawarah tidak tercapai. Di dalam
Muhammadiyah tidak dikenal kultus individu, namun mekanisme organisasi jauh
melampaui kekuatan individu dalam system organisasi Islam ini.
Muhammadiyah Perspektif Gerakan
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar
dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. ( Anggaran Dasar Pasal 4
ayat 1). Kemudian dalam Kepribadian Muhammadiyah, didefinisikan
sebagai suatu persyarikatan yang merupakan “Gerakan Islam”. Maksud
gerakan ialah “Da’wah Islam dan Amar Ma’ruf nahi Munkar” yang ditujukan kepada
dua bidang: perseorangan dan masyarakat. Da’wah dan Amar
Ma’ruf nahi Munkar pada bidang pertama
terbagi kepada dua golongan: (1). Kepada yang
telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni. (1). kepada
yang belum Islam, bersifat seruan atau ajakan untuk memeluk agama Islam. Adapun
da’wah Islam dan Amar Ma’ruf nahi Munkar bidang kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat kebaikan, bimbingan dan
peringatan. Sehingga jelas dapat disimpukan bahwa ada tiga identitas gerakan
Muhammadiyah, yaitu Gerakan Islam, Gerakan Dakwah, dan Gerakan Tajdid.
Muhammadiyah Gerakan Islam
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang
melaksanakan misi dakwah dan tajdid untuk terwujudnya masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Bagi Muhammadiyah Islam merupakan nilai utama sebagai fondasi
dan pusat inspirasi yang menyatu dalam seluruh denyut-nadi gerakan.
Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam sebagai risalah yang dibawa para Nabi
hingga Nabi akhir zaman Muhammad s.a.w. adalah agama Allah yang lengkap dan
sempurna. Islam selain mengandung ajaran berupa perintah-perintah dan
larangan-larangan tetapi juga petunjuk-petunjuk untuk keselamatan hidup umat
manusia di dunia dan akhirat. (tanfidz Muktamar se-abad: 14)
Muhammadiyah memandang bahwa Islam merupakan
agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan untuk mewujudkan kehidupan umat
manusia yang tercerahkan. Kemajuan dalam pandangan Islam adalah kebaikan yang
serba utama, yang melahirkan keunggulan hidup lahiriah dan ruhaniah. Islam yang
berkemajuan memancarkan pencerahan bagi kehidupan. Islam yang berkemajuan dan
melahirkan pencerahan secara teologis merupakan refleksi dari nilai-nilai
transendensi, liberasi, emansipasi, dan humanisasi sebagaimana terkandung dalam
pesan Al-Quran Surat Ali Imran ayat 104 dan 110 yang menjadi inspirasi
kelahiran Muhammadiyah.
Islam yang berkemajuan menyemaikan
benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran,
dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang
menjunjungtinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa
diksriminasi. Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterorisme,
antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala
bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan,
kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemunkaran yang
menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang
memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia
di muka bumi.
Pandangan Islam yang berkemajuan yang
diperkenalkan oleh pendiri Muhammadiyah telah melahirkan ideologi kemajuan,
yang dikenal luas sebagai ideologi reformisme dan modernisme Islam, yang
muaranya melahirkan pencerahan bagi kehidupan. Pencerahan (tanwir)
sebagai wujud dari Islam yang berkemajuan adalah jalan Islam yang membebaskan,
memberdayakan, dan memajukan kehidupan dari segala bentuk keterbelakangan,
ketertindasan, kejumudan, dan ketidakadilan hidup umat manusia. Muhammadiyah
tidak hanya berhasil melakukan peneguhan dan pengayaan makna tentang ajaran
akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan
dalam mu’amalat dunyawiyah yang membawa perkembangan hidup sepanjang kemauan
ajaran Islam dengan (al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah) untuk
menghadapi perkembangan zaman.
Muhammadiyah memahami bahwa Islam memiliki
pandangan tentang masyarakat yang dicita-citakan, yakni masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Dalam pesan Al-Quran (QS. Ali Imran ayat 110; Al Baqarah ayat
143), masyarakat Islam yang diidealisasikan merupakan perwujudan khaira
ummah (umat terbaik) yang memiliki posisi dan peran ummatan wasatha (umat
tengahan), dan syuhada ‘ala al-nas (pelaku sejarah) dalam kehidupan
manusia. Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang di dalamnya ajaran Islam
berlaku dan menjiwai seluruh bidang kehidupan yang dicirikan oleh ber-Tuhan dan
beragama, berpersaudaraan, berakhlak dan beradab, berhukum syar’i,
berkesejahteraan, bermusyawarah, berihsan, berkemajuan, berkepemimpinan, dan
berketertiban. Dengan demikian masyarakat Islam menampilkan corak yang bersifat
tengahan, yang melahirkan format kebudayaan dan peradaban yang berkeseimbangan.
Masyarakat Islam yang dicita-citakan
Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani (civil-society)
yang maju, adil, makmur, demokratis, mandiri, bermartabat, berdaulat, dan
berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah) yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah.
Masyarakat Islam sebagai kekuatan madaniyah (masyarakat madani)
menjunjungtinggi kemajemukan agama dan pemihakan terhadap kepentingan seluruh
elemen masyarakat, perdamaian dan nir-kekerasan, serta menjadi tenda besar bagi
golongan dan kelompok masyarakat tanpa diskriminasi. Masyarakat Islam yang
dicita-citakan Muhammadiyah merupakan masyarakat yang terbaik yang mampu
melahirkan peradaban yang utama sebagai alternatif yang membawa pencerahan
hidup umat manusia di tengah pergulatan zaman.
Muhammadiyah Gerakan Dakwah
Muhammadiyah sejak berdirinya tahun 1912 mengukuhkan
dirinya sebagai gerakan dakwah selain gerakan tajdid. Dalam Anggaran Dasar yang
pertama tahun 1912 dinyatakan bahwa Perhimpunan Muhammadiyah memiliki
maksud: ”a. Menyebarluaskan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad
Shallalahu ‘alaihi wa Salam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi
Yogyakarta, dan b. Memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya” (Statuten
Muhammadiyah, tahun 1912, artikel/pasal 2). Kata ”menyebarluaskan”
mengandung makna dakwah yang bersifat ekspansi, yakni mengajak kepada kebaikan
(Islam), menyuruh pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar (QS. Ali-Imran/2:
104). Sedangkan kata ”memajukan” memiliki kaitan dengan pembaruan. (AD
Muhammadiyah 2005).
Dakwah
sejatinya merupakan konsep Islam yang paling demokratis. Kata dakwah (bahasa
Arab) berasal dari kata da’a – yad’u – dakwatan artinya menyeru
memanggil, dan menjamu. Dakwah Muhammadiyana ith bersifat multi aspek sesuai
dengan keluasan ajaran Islam. Karena itu dakwah melipiti pembinaan paham dan
praktik keagamaan sebagaimana tuntunan tarjih, tabligh, pendidikan, kesehatan,
ekonomi, pemberdayaan masyarakat, peran kebangsaan dan berbagai usaha lainnya.
Konsep dan langkah paling strategis dan sistematis dari
pemikiran dakwah Muhammadiyah dirumuskan tahun 1968 sebagai hasil muktamar
ke-37 di Yogyakarta, yang dikenal dengan Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah
(GJDJ). GJDJ merupakan terobosan baru yang cerdas dan menghujam ke akar
masyarakat, yakni bagaimana Muhammadiyah melakukan dakwah Islam yang terpadu
dan nyata di masyarakat melalui pengembangan jama’ah yang inklusif dan digerakkan
oleh anggota Muhammadiyah sebagai inti Jama’ah. GJDJ adalah “suatu usaha persyarikatan Muhammadiyah melalui anggotanya
yang tersebar diseluruh tanah air untuk secara serempak teratur dan berencana
meningkatkan keaktifannya dalam membina lingkungannya kea rah kehidupan yang
sejahtera lahir batin”. (Haidar, 2010: 269-270).
Perkembangan mutakhir menyangkut pemikiran tentang
dakwah maupun integrasi GJDJ,
diformulasikan dalam konsep dan pemikiran “Dakwah Kultural Muhammadiyah”
sebagai sistem (manhaj) dakwah yang paling konperehensif produk Muhammadiyah
secara resmi kelembagaan. Dikatakan lengkap karena menyangkut konsep dakwah
secara umum maupun dakwah cultural sebagai suatu pendekatan, sekaligus
mengandung aspek-aspek dakwah di berbagai bidang kehidupan termasuk di dalam
GJDJ. Dakwah cultural merupakan pemikiran resmi Muhammadiyah yang digagas dan
dibahas dua kali siding Tanwir di Dempasar tahun 2002, dan di Makasar tahun
2003, yang kemudian ditanfidzkan PP Muhammadiyah tahun 2004.
Pemikiran Dakwah Kultural
(2004: 20) menyatakan tentang konsep dakwah secara umum yaitu “upaya untuk
mengajak seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) agar dapat memeluk dan
mengamalkan ajaran Islam atau mewujudkan ajaran Islam ke dalam kehidupan
nyata”. Adapun yang dimaksud dengan Dakwah Kulturan adalah “ upaya penanaman
nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi
dan kecenderungan manusia sebagai mahluk budaya secara luas, dalam rangka
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Jika disimak secara seksama,
objektif, dan jernih maka konsep dan pemikiran Dakwah Kultural maupun Gerakan
Jama’ah dan Dakwah Jama’ah sudah sangat lengkap pemikiran, metode, dan hal-hal
lain seputar pemikiran dakwah Muhammadiyah. Kini yang diperlukan justru pelaksanaan
di lapangan, yang sesungguhnya tidak berada di ruang vakum. Mobilisasi dakwah
sangat diperlukan dengan menggerkkan segala potensi dan kekuatan mulai dari
tingkat pusat sampai yang paling bawah yaitu ranting di seluruh lini organisasi
dan anggota untuk menjalankan konsep
dakwah yang sudah sangat komperehensif itu.
Untuk melakukan dakwah Muhammadiyah terkandung dalam
“Pedoman Pelaksanaan Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam dan Amar Ma’ruf
Nahi Munkar” hasil tanwir 1967, Muhammadiyah selalu berusaha: (1). Tajdid dalam
faham Agama dan masyarakat; (2). Keberanian memasuki masyarakat dengan tujuan
membangun atas dasar Islam; (3). Tabsyir dalam beramal/gembira meng-Islamkan
dan tidak mengkafirkan; (4). Ajakan Islam untuk masyarakat umum dengan tak
memandang golongannya, pekerjaanya, politiknya, kebangsaannya, yang belum Islam
diajak kepada Islam, yang sudah mengaku Islam diajak menyempurnakan
ks-Islamanya; (5). Dimengertinya ajaran-ajaran Islam dalam hal yang menjadi
keperluan masyarakat, baik mengenai ekonomi, politik, dan social sampai
sekecil-kecilnya umpamanya dalam tata rumatangga perorangan; (6). Agar bagian
dan badan-badan otonom Muhammadiyah benar-benar dapat dipergunakan sebagai
alat-alat dakwah.
Dakwah Muhammadiyah pada abad kedua meneguhkan komitmen
gerakannya untuk berperan lebih proaktif dalam melakukan pencerahan bagi
kehidupan umat, bangsa, dan kemanusiaan universal yang sarat tantangan. Dalam
gerak melintasi zaman dari abad kesatu ke abad kedua dan dalam menghadapi
masalah-masalah keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal yang sangat
kompleks itu Muhammadiyah berkomitmen kuat untuk menjadi bagian dari penyelesai
masalah (problem solver) dengan mengambil prakarsa, partisipasi, dan
langkah-langkah yang proaktif dan strategis.
Muhammadiyah Gerakan Tajdid
Muhammadiyah dikenal luas
sebagai gerakan tajdid yang bermakna pembaharuan. Kata “tajdid” berasal dari
bentukan kata jadda – yajiddu – jiddan/jiddatan artinya sesuatu yang ternama,
yang besar, nasib baik, dan baru. ‘iadat al-syaiy ka al-mubtada (mengembalikan sesuatu pada asal mulanya), al-ihya (mengidup-hidupkan sesuatu yang telah
mati), dan al-islah (menjadikan baik, mengembangkan). Namun kata tajdid
yang paling ialah pembaharuan, setara dengan jadid (sesuatu yang baru).
Menurut Asjmuni (2004: 286) tajdid bertujuan untuk memfungsikan Islam sebagai
furqan, hudan, dan rahmatan lil ‘alamin, termasuk mendasari dan membimbing
perkembangankehidupan masyarakat, serta IPTEK.
Gerakan tajdid Muhammadiyah
dikenal dengan paradigma modernis-reformis yang tubuh Muhammadiyah cenderung eklektik atau
berada di tengah (tawazun, tawasuth), sehingga dapat dikatakan
sebagai berdiri dalam posisi paradigma wasithiyyah. Posisi dan peran
tengahan itu bukan berarti kehilangan ketegasan dan jatidiri karena dalam
hal-hal prinsip yang fundamental tetap kokoh. Karakter wasathiyyah atau gerakan ”tengahan” yang
menjadi kepribadian dan orientasi gerakan Muhammadiyah ditunjukkan antara lain,
pertama dalam jatidirinya selaku gerakan Islam yang sejak awal menampilkan
tajdid yang bersifat pemurnian (tajrid, tandhif) sekaligus
pembaruan (tajdid, ishlah) secara seimbang Purifikasi
atau pemurnian (tajrid, tandzi). Tajdid Muhammadiyah itu bersifat baina tajrid wa
tajdid (antara pemurnian dan pembaruan). Dengan paradigma yang integratif atau eklektik
antara purifikasi dan dinamisasi maka Muhammadiyah dapat melakukan rekonstruksi
atau transformasi pemikiran dalam gerakannya.(Haidar, 2009).
Tajdid fil-Islam diartikan terbatas pada
pemurnian ajaran Islam yakni pemurnian (tajrid, tandhif) dimaksudkan untuk mengembalikan praktik Islam pada sumber aslinya
yakni al-Qur’an dan Sunnah yang Shahihah atau Maqbullah. Sehingga dalam mengamalkan Islam benar-benar otentik,
lebih lebihdalam beraqidah dan menjalankan ibadah mahdhah. Sedangkan pembaharuan (tajdid, ishlah) dimaksudkan untuk mengembangkan cara-cara dan praktik ajaran Islam
sejalan dengan prinsip ijtihad untuk menghadapi perkembangan zaman guna meraih
kemajuan sebagaimana yang berlaku dalam ranah mu’amalat duniawiyat.
Kodifikasi dan konsensus tajdid yang bercorak purifikasi
dan dinamisasi tergambar pula dalam keputusan Muktamar ke-45 tahun 2005 di
Malang yang telah menggariskan program strategis yaitu “Program Nasional
Bidang Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam”. Program tersebut memiliki Rencana
Strategis, yaitu: “Menghidupkan tarjih, tajdid, dan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah sebagai
gerakan pembaharuan yang kritis-dinamis dalam kehidupan masyarakat dan proaktif
dalam menjawab problem dan tantangan perkembangan sosial budaya dan kehidupan
pada umumnya sehingga Islam selalu menjadi sumber pemikiran, moral, dan praksis
sosial di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang sangat kompleks.”. Adapun Garis Besar Program: (1) Mengembangkan dan menyegarkan pemahaman
dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat yang multikultural dan
kompleks; (2) Mensistematisasi metodologi pemikiran dan pengamalan Islam
sebagai prinsip gerakan tajdid dalam gerakan Muhammadiyah; (3) Mengoptimalkan
peran kelembagaan bidang tajdid, tarjih dan pemikiran Islam untuk selalu
proaktif dalam menjawab masalah riil masyarakat yang sedang berkembang; (4)
Mensosialisasikan produk-produk tajdid, tarjih dan pemikiran ke-Islaman
Muhammadiyah ke seluruh lapisan masyarakat; dan (5) Membentuk dan mengembangkan
pusat penelitan, kajian, dan informasi bidang
tajdid dan pemikiran Islam yang terpadu dengan bidang lainnya.
Muhammadiyah pada abad kedua berkomitmen kuat untuk
melakukan gerakan pencerahan (tanwir) merupakan praksis Islam yang
berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Gerakan
pencerahan dihadirkan untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan
berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan. Gerakan
pencerahan terus bergerak dalam mengemban misi dakwah, membangun perdamaian,
menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki
maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjungtinggi akhlak mulia,
dan memajukan kehidupan umat manusia. Komitmen Muhammadiyah tersebut
menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab
tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang
autentik.
Muhammadiyah dalam melakukan gerakan
pencerahan berikhtiar mengembangkan strategi dari revitalisasi (penguatan
kembali) ke transformasi (perubahan dinamis) untuk melahirkan amal usaha dan
aksi-aksi sosial kemasyarakatan yang memihak kaum dhu’afa dan mustadh’afin
serta memperkuat civil society (masyarakat madani) bagi kemajuan dan
kesejahteraan bangsa. Dalam pengembangan pemikiran Muhammadiyah berpijak pada
koridor tajdid yang bersifat purifikasi dan dinamisaai, serta mengembangkan
orientasi praksis untuk pemecahan masalah kehidupan. gerakan pencerahan,
Muhammadiyah memaknai dan mengaktualisasikan jihad sebagai ikhtiar mengerahkan
segala kemampuan (badlul-juhdi) untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat
manusia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Jihad dalam
pandangan Muhammadiyah bukanlah perjuangan dengan kekerasan, konflik, dan
permusuhan. Amin Abdullah (2009) mengatakan akan tantangan
yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama usianya pasti berbeda dari abad kedua usianya, meskipun kontinuitasnya
antara keduanya tetap ada. Untuk itu, Paradigma, Model, dan Strategi Tajdidnya
juga harus disesuaikan dengan perkembangan terbaru discourse keislaman
baik dalam teori maupun praktek.
Daftar Pustaka
Abdul Munir Mulkhan. 1994. Masalah-masalah Teologi dan
Fiqih dalam Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Sipress.
Ali Syariati. Tugas Cendekiawan Muslim. Terjemahan M. Amien Rais. Yoyakarta.
Shalahuddin Press. 1982.
Asymuni Abdurrahman,
Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aksi, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2004.
Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di
Indonesia 1900-1942. Jakarta, LP3ES, 1988.
Hadjid. Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Ayat Pokok Ayat al-Qur’an.
Malang. LPI PPM. 2008.
Haedar Nashir. Makalah:Teologi Al-Ma’un dan Amal Usaha Muhammadiyah. disampaikan dalam Seminar dan
Lokakarya Satu Abad Muhammadiyah di Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, diselenggarakan oleh RSIJ pada tanggal 2
s/d 4 Februari 2010 di Jakarta.
Haidar Nashir, Muhammadiyah Gerakan
Pembaharuan, Yogyakarta’ Suara Muhammadiyah, 2010.
Haidar Nashir. Paradigma Tajdid Muhammadiyah Sebagai Gerakan
Modernis-Reformis. Makalah Seminar Pra-Muktamar “Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju
Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid”, yang diselenggarakan
Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 21 s.d 22 November 2009, di Kampus UM
Malang, Malang-Jawa Timur.
Mas Mansur. Tafsir Langkah Muhammadiyah. Yogyakarta,
Suara Muhammadiyah, 2010.
Musthafa Kamal,
Pashadan Ahmad Adaby Darban, “Muhammadiyah
Gerakan Islam”. Citra Karsa Mandiri; Yogyakarta. 2005.
M. Amin
Abdullah. Paradigma Tajdid Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam Modernis-Reformis. Disampaikan pada acara Seminar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah
Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid yang
diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, 21-22 November 2009
M. Sukriyanto
AR. Rekonstruksi Paradigma Gerakan Dakwah Muhammadiyah. Muktamar Pemikiran Islam di Malang tanggal 11 – 13
Februari 2008
MPK PP
Muhammadiyah. Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Idiologi, Khittah, dan Langkah,
Suara Muhammadiyah, 2009.
PP Muhammadiyah. Pedoman Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah. Keputusan Muktamar
Muhammadiyah Ke-44 Tanggal 8 s/d 11 Juli Di Jakarta.Tahun 2000
PP Muhammadiyah. Anggaran Dasar&
Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah. 2005.
PP.
Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Tanwir Muhammadiyah Tahun 1428 H / 2007 M
PP
Muhammadiyah, Tanfidz Muktamar se-abad Muhammadiyah
(Tulisan Muhammadi Tahlil/ peserta DAM Sukoharjo 2011)
0 komentar:
Posting Komentar