Imam shalat adalah sebuah ‘jabatan’ yang sangat mulia dan memiliki
tanggung jawab yang sanggat besar. Tidak setiap orang dapat menjadi imam dalam shalat
karena harus memiliki kompetensi tertentu yang sudah menjadi konsesus ulama
fiqih. Oleh karena itu, orang yang menjadi imam adalah orang yang terbaik
diantara yang lainnya bukan berdasarkan lamanya hidup didunia tetapi kualitas
individu yang dimiliki yang menyebabkan seseorang bisa menjadi seorang imam. Begitupun
dengan seorang pemimpin harus memiliki kompetensi yang lebih dari yang lain,
sehingga bisa membuat visi dan misi yang bisa dilaksanakan oleh para pembantu
serta kebijakan yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan baik oleh seluruh
pembantunya. Dan hasilnya kemajuan atau kesejahtraan yang dicita-citakan akan
dapat tercapai.
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika seorang imam dan pemimpin
dipilih bukan berdasarkan kompetensi yang ditetapkan tapi berdasarkan kekayaan
dan kekuatan uang atau besarnya uang yang diberikan kepada masyarakat. Maka
kemajuan yang diharapkan sulit karena pemimpin yang dipilih tidak memiliki
keahlian dibidangnya, begitupun dengan seorang imam shalat bukan tidak mungkin
akan menyebabkan tidak sahnya proses ibadah (shalat)
karena kesalahan yang dilakukan atau diperbuat sang imam.
Kekeliruan Imam dan Pemimpin
Berbicara
kekeliruan setiap orang meski pernah mengalami namun jangan sampai diulangi
kembali, agar kredibelitas tidak tereduksi karena sering berbuat yang tidak sesuai
dengan aturan janji yang disampaikan. Hal yang patut menjadi teladan dalam
proses melaksanakan shalat berjamaah untuk seorang pemimpin atau pejabat publik.
Ketika seorang dipilih menjadi seorang imam shalat maka semua mematuhi gerakan
dan arahan dari imam tidak boleh ada yang membantah bahkan memprotes, selama
semua itu dalam koridor aturan agama dan tidak melakukan kesalahan yang fatal.
Namun ketika imam melakukan kesalahan atau keluar dari
koridor yang telah ditentukan imam harus dan akan diingatkan oleh makmun (umat) yang ada dibelakangnya. Dan hal
ini dilakukan agar proses ibadah berjalan sesuai dengan tuntunan Allah dan
Rasul-Nya, sehingga ibadah yang dilakukan tidak sia-sia. Yang menjadi imam
ketika diingatkan tidak boleh dan tidak akan marah namun menyadari kesalahan
dan memperbaiki kesalahannya.
Kita bandingkan dengan pemimpin yang ada di Negeri ini
apakah seperti imam dalam shalat atau sebaliknya. Ketika masyarakat
mengingatkan kesalahan pemimpinnya justru pimpinan kita membela diri dan balik
mengkritik, bukan menyadari dan berterima kasih telah diingatkan. Sejatinya
masyarakat itu mencintai pemimpinnya dan untuk kebaikan seluruh yang
dipimpinnya. Namun gengsi dan arogansi telah mengalahkan filosofi shalat dalam
proses kepemimpinan seseorang. Ini fakta bahwa shalat yang dilakukan hanya
sebatas pada proses ritual semata belum pada tataran aplikasi nyata dan
diterapkan dalam kehidupan sosial.
Metode Mengingatkan
Dalam shalat ada metode mengingatkan seorang imam
apabila melakukan kekeliruan dan dengan maksud bukan untuk menjatuhkan atau
menghinakan imam. Sebaliknya seorang imam justru harus peka terhadap kesalahan
yang dilakukannya dan kembali kepada jalan yang benar. Ketika seorang imam
membaca keliru satu ayat saja dalam bacaan shalatnya maka dengan cepat orang
yang berada dibelakang mengingatkan, jadi orang yang ada di belakang imam atau
wakil imam harus benar-benar orang yang memiliki kompetensi untuk menjadi
seorang imam. Dan ketika keliru dalam gerakan shalat maka makmum yang berada
dibelakang harus mengingatkan dengan membaca bacaan yang sudah ditentukan yaitu
subhanallah dan imam harus menyadari kekeliruannya dan
kembali kepada aturan yang sesungguhnya. Begitu indanya kebersamaan dalam
shalat ada proses kebersamaan dan saling mengingatkan antara pimpinan dan orang
yang dipimpin.
Begitupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
maka filosofi dalam shalat berjamaah ini dapat dijadikan pegangan dalam
kehidupan bernegara dan dijadikan acuan oleh seorang pemimpin. Dengan melihat
metode mengingatkan dalam shalat maka dapat takwilkan atau diqiyaskan ketika
seorang pemimpin keluar dari aturan yang sebenarnya maka seorang wakil harus
selalu mengingatkan agar kembali kepada aturan yang sesungguhnya. Hal ini
semata-mata dilakukan dengan ikhlas dengan tujuan untuk seluruh orang yang
dipimpin. Maka ketika proses mengingatkan tersebut tidak boleh ada tendensi
apapun, namun murni untuk perbaikan dan kebaikan bersama. Sebaliknya seorang
pemimpin harus menyadari itu dan jangan arogan merasa orang yang paling benar
sendiri.
Imam dan Ketegasan Pemimpin
Seorang imam shalat memiliki ketegasan dalam membawa
jamaahnya dan telah memiliki idikator yang sangat jelas dan memiliki batasan
yang jelas. Jadi semua makmum yang mengikutinya merasa yakin dan percaya apa
yang dilakukan oleh imamnya. Maka dari itu seorang imam tidak boleh was-was atau ragu-ragu, seorang imam harus memiliki keyakinan yang nyata dan
ketegasan sehingga makmum menjadi percaya kepada imam dan ibadah yang
dilaksanakan sah dan benar.
Ini berlaku bagi seorang pemimpin yang harus memiliki
ketegasan dalam memimpin bangsa agar rakyat yang dipimpinnya memiliki keyakinan
bangsa ini akan maju. Namun akan menjadi sebaliknya apabila pemimpin peragu
maka rakyat yang dipimpinnya akan kurang yakin dengan kemampuan yang
sesungguhnya. Perlu diingat seorang pemimipin juga harus memiliki indikator
yang jelas dalam mencapai program-programnya supaya masyarakatnya bisa mengevaluasi
dan mengawasi. Dan ketidakjujuran yang dilakukan oleh para pembantu pemimpin dapat
diminimalisir mungkin. Tulisan ini bukan untuk mencari kesalahan seorang
pemimpin ataupun yang lainnya hanya kita dapat mengambil pelajaran dari proses
Ibadah Shalat yang selalu kita lakukan.
Shalat yang selama ini kita lakukan hendaknya dapat
kita ejawantahkan dalam prilaku sosial sehingga fungsi shalat dapat mencegah
perbuatan keji dan munkar dapat direalisasikan. Sejatinya juga perintah shalat
dalam al-Qur’an dengan jelas yaitu disuruh menegakan shalat, hal ini kalau kita
maknai secara mendalam adalah bukan hanya dilakukan tapi dapat difahami
filosofi dari nilai-nilai shalat tersebut. Yang pada akhirnya segala apa yang
dilakukan dalam shalat dapat dimanifestasikan dalam kehidupan yang nyata. Maka
kalau sudah memahami nilai-nilai shalat dan dapat dilaksanakan dengan baik
bukan tidak mungkin fungsi shalat seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an dapat
terwujud.
Ketika semua itu terwujud maka segala bentuk
ketidakjujuran yang menggerogoti kepercayaan bangsa ini terhadap pemimpinnya
akan hilang dengan sendirinya. Disinilah sesungguhnya fungsi agama dalam
kehidupan nyata, sehingga agama tidak difahami hanya sebatas ritual semata
tetapi dapat diejawantakan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya dapat menjadi
kontrol kehidupan sosial masyarakat kita.
Negara baldatun toyibatun warrofun ghofur tidak
hanya sebatas selogan tapi dapat diwujudkan dengan nyata. Untuk mencapai hal
tersebut perlu adanya keterlibatan seluruh steakholder masyarakat sehingga
menjadi gerakan sosial yang massif, dan dapat merubah kehidupan kebangsaan
kearah yang lebih baik. Kita masih memiliki harapan terhadap bangsa ini untuk
menjadi bangsa yang kuat dan disegani. Tidak perlu adanya formalisasi aturan
agama dalam kehidupan bernegara tapi cukup mengamalkan filosfi shalat itu
sendiri yang ada akan dengan baik dan tidak adanya pemakasaan terhadap umat
Islam. Semoga bangsa ini bisa menjadi lebih baik serta terbebas dari korupsi
dan kebohongan yang terus dilakukan oleh seluruh rakyat dan pimpinannya. Sumber : http://sulthan17.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar