Dalam
studi keilmuan dan penelitian yang di lakukan oleh berbagai ahli peneliti bahwa
hakekat yang di cari oleh manusia adalah kebahagiaan tanpa batas. Tafsiran
kebahagiaan itu memiliki dimensi yang sangat luas dan tidak di persempitkan
oleh prilaku manusia. Kalimat Billahi dalam padanan bahasa Indonesia maupun keistilaan merupakan sebuah
perwakilan hati nurani untuk mencapai kebenaran yang di ukur melalui kekuatan
moralitas dan prilaku manusia. Billahi adalah refresentasi naluri dan gagasan yang di aktualisasikan
dalam prinsip nilai kemanusiaan sehingga menjadi bagian yang terintegrasi satu
sama lainnya.
Sementara kalimat Fi Sabilillah membawa makna tersendiri dan tak terpisahkan dari substansinya dengan pemaksimalan potensi diri yang di dukung oleh kekuatan moralitas dan prilaku yang baik sebagai jembatan untuk mencapai keberkatan dan keberkahan. Arti jembatan dalam prinsip Fi Sabilillah adalah alat untuk mentunaikan segala kemampuan gagasan, material, spirit dan etos kerja untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keillahiannya sebagai spirit amal sholeh menuju kebahagiaan hakiki. Keberlanjutan Fi Sabililhaq dalam prinsip nilai kemanusiaan hanya dapat di lakukan apabila segala sesuatu yang dikerjakan sesuai dengan hak dan kewajiban tanpa ada rasa iri hati, dengki, hasat dan lain sebagainya.
Sementara kalimat Fi Sabilillah membawa makna tersendiri dan tak terpisahkan dari substansinya dengan pemaksimalan potensi diri yang di dukung oleh kekuatan moralitas dan prilaku yang baik sebagai jembatan untuk mencapai keberkatan dan keberkahan. Arti jembatan dalam prinsip Fi Sabilillah adalah alat untuk mentunaikan segala kemampuan gagasan, material, spirit dan etos kerja untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keillahiannya sebagai spirit amal sholeh menuju kebahagiaan hakiki. Keberlanjutan Fi Sabililhaq dalam prinsip nilai kemanusiaan hanya dapat di lakukan apabila segala sesuatu yang dikerjakan sesuai dengan hak dan kewajiban tanpa ada rasa iri hati, dengki, hasat dan lain sebagainya.
Namun
hal ini sangatlah sulit ditemukan pada zaman sekarang ini karena pandangan
pragmatisme sudah akut dalam naluri manusia yang terkadang mengalahkan rasa
keberimanan manusia itu sendiri. Hal inilah yang tak bisa dipisahkan oleh
individu sehingga menyebabkan kerakusan tanpa batas dengan tidak
memperhitungkan akibatnya. Sementara dimensi manusia tentu saling membutuhkan
satu sama lainnya, bahkan setiap haqmanusia juga terdapat haq orang lain. Ini sebenarnya yang sangat
jarang di pahami oleh manusia, padahal dimensi ini merupakan bagian terpenting
sebagai proses pemaksimalan potensi diri untuk merebut kebahagiaan yang hakiki.
Cobalah kita renungkan sebagaimana yang terjadi dalam proses sebuah system
bernegara dan berbangsa atau berorganisasi sekalipun, pasti kekerasan terhadap
nuraninya sendiri justru menjadi sangat akut misalnya melakukan korupsi,
berusaha tidak jujur, apalagi sering berbuat tidak adil. Hal semacam ini
merupakan aspek kongkrit dari pengambilan hak orang lain dan melakukan
penghianatan terhadap konvensi kolektif dari sebuah aturan yang di sepakati
bersama. Bahasa haqmerupakan symbol sekaligus kekuatan baru dan
tumpuan harapan manusia seutuhnya. Namun ada hal yang berbeda ketika haq di
posisikan sebagai kekuatan natural – material maka yang terjadi justru
pembelotan makna haq itu sendiri yang mengakibatkan krisis
prilaku baik. Dimensi haq akan selalu melahirkan efek negatif
antara konvensi kolektif dan konvensi individu. Dua faktor itu penyebab
pendeknya arus kesadaran pada manusia oleh karena minimnya tafsir internalisasi
diri terhadap problem yang terjadi antara individu dan basis sosial.
Keuniversalan Fi Sabililhaq adalah jembatan untuk menengahi
segala faktor negatif tersebut sehingga kesadaran manusia bisa terarah dan
fokus pada amaliahnya, maka dengan seperti itulah manusia akan menuju
pada siratul mustakim yang dapat menciptakan perdamaian yang
hakiki, dan mengeluarkan dari jeratan hutang amal.
Sehubungan dengan berbagai pandangan para akademisi Islam maupun para ahli
fiqih bahwa keragaman (multi persfektif) tentang makna
sebenarnya Billahi Fi Sabililhaq, itu merupakan khasanah yang
tak boleh ditinggalkan karena hal tersebut akan memperkaya proses iqranisasi
yang bersumber tetap pada kalam illahiah. Kemudian khasanah tersebut di urai
dalam satu naungan keberimanan untuk menjadi pandangan dan keyakinan yang
mantap dan solid sehingga segala dimensi ruang dan waktu terisi oleh amaliah
yang tidak terukur dan tak terhitung. Satu naungan tersebut haruslah di
lengkapi dengan berbagai faktor teologi dan ideologi yang di hubungkan dengan
faktor keragaman sosial manusia sehingga memberikan pemahaman yang baik sebagai
panduan dan jalan menuju kesadaran amaliahnya sebagai titik kulminasi penuh
dalam proses keduaniaannya. Naungan itu lebih di satukan dalam dimensi Fastabiqul
Khaerat (berlomba-lomba kepada kebaikan) tanpa mengenal tapal batas
dan waktu. Dengan demikian Fastabiqul Khaerat merupakan
langkah strategis manusia sebagai alat penyempurnaan segala aspek ibadah,
keimanan, ketaqwaan dan keyakinan akan sang pencipta. Makna inilah yang akan
kita jadikan sebuah mainstream sebagai jalan doktrinal ideologi untuk mencapai
kesempurnaan haq di jalan Tuhan.
Selama ini banyak tafsiran dan metode yang di gunakan oleh berbagai ulama
maupun akademisi Islam yang berusaha menempatkan Billahi Fi Sabililhaq
Fastabiqul Khaerat sebagai bagian dari aksi radikalisasi dan meminta
agama sebagai hakim dengan melakukan pembenaran terhadap radikalisasi serta
kekerasan tersebut. Hal ini sala satu kelemahan dalam memberikan pandangan
terhadap makna Billahi Fi Sabililhaq Fastabiqul Khaerat sehingga
menyebabkan sesat fikir dan tidak obyektif menelisik perkembangan dunia pada
zamannya. Akibat dari sesat fikir tersebut banyak melahirkan generasi ulama dan
akademisi Islam yang justru membawa Islam pada wilayah mencoreng wajahnya
sendiri dengan melakukan kekerasan serta radikalisasi atas nama agamanya.
Sedemikian rupawan dan keragaman yang multipersfektif timbul di tengah ulama
dan para akademisi dalam memformulasikan makna Fi Sabililhaq Fastabiqul
Khaerat. Ini harus di kritik sebagai bentuk penumbuhan sikap egaliter
dan moderat terhadap perkembangan zaman dalam pandangan Islam. Mengapa ?
sederet dan bersusunan persoalan yang sering kita jumpai belum bisa
menuntaskannya sebagai indikator bahwa kita sesungguhnya belumlah mengalami
kemajuan yang signifikan. Seumpama saja persoalan TKI dan kemelut politik di
negeri ini yang tidak kunjung ada common will untuk menyelsaikannya, padahal
itu merupakan sebuah tanggungjawab besar dalam system khalifah
(kepemimpinan), namun yang terjadi meninggalkan bekas luka yang
mendalam di hati umatnya (rakyat) sendiri.
Seharusnya Fi Sabililhaq Fastabiqul Khaerat di jadikan
cambuk untuk membangun peradaban yang lebih baik dan menata seluruh sendi
kehidupan dengan rapi, aman dan sentosa. Kerinduan akan perdamaian sala satu
misi yang harus di gapai melalui instrument Fi Sabililhaq Fastabiqul
Khaerat, kerinduan perdamaian dan kebahagiaan yang di rindukan itu tak
akan pernah lelah untuk diharapkan sebagaimana apa yang di rindukan oleh
tuhannya ketika menunjuk manusia sebagai khalifah dan menyongsong peradaban
yang baik dengan instrument Fi Sabililhaq Fastabiqul Khaerat dalam
mengapai kehidupan jannah. Apapun latar belakang manusia akan tetap merujuk dan
bersumber pada kebenaran itu melalui fastabiqul khaerat sebagai alat
penyempurnaan segala amaliah yang ada. Fi Sabililhaq Fastabiqul Khaerat merupakan
deklarasi nurani setiap manusia untuk berbuat baik tanpa ada larangan, selagi
itu semua dalam koridor masing-masing dengan memperhatikan asas teologisnya.
Namun di balik segala yang di pandang baik pasti ada terselip sesuatu yang di
anggap keburukan, entah itu ada indikasi provokasi negatif terhadap prilaku
atau terlepas dari segala kemungkinan buruk, karena merasa telah mengalami
kepuasan sehingga provokasi negatif pun selalu ada. Mengutif apa yang dikatakan
oleh Djazman Al kindi bahwa kepuasan cenderung membawa mudarat dan mengalami
dekandensi sehingga semua insan manusia sering sfekulatif dalam pandangannya.
Kepuasan inilah yang sering menyebabkan tanpa control sehingga lambat laun
mengalami krisis moralitas dan prilaku baik.
Kita bisa ilustrasikan bahwa kekacauan yang terdapat di tengah jalan
penyelsaiannya merupakan kecendrungan yang sifatnya tetap dan sering menjadikan
sarana emosional yang tak tertahankan baik secara nurani maupun fisik. Hal ini
kemudian menjadi kontroversi yang sangat pahit dan hanya merupakan abstraksi
dari kepuasan spesifik. Padahal kita tahu semua bahwa kepuasan adalah alat
analisis amaliah yang paling ampuh sebagai faktor terbesar untuk melakukan
identifikasi dan mengukur tingkat kemampuan berfastabiqul khaeratnya setiap
manusia. Fi Sabililhaq Fastabiqul Khaerat tidak dapat di
pisahkan atau di isolasikan dari basis teologis masyarakat, bukanlah seperti
sari buah yang sifatnya homogen dan spesifik untuk di konsumsi. Tepatnya,
intensitas Fi Sabililhaq Fastabiqul Khaerat sama persisnya
dengan apa yang di lakukan dalam durasi penyadaran nilai-nilai kemanusiaan
untuk menjawab dan menentukan arah dari kekuatan Fi Sabililhaq
Fastabiqul Khaerat. Maka setiap yang melakukannya akan mengatakan itu
adalah preferensi yang sungguh-sungguh di perhitungkan sebagai kuantitas piƱata
peradaban. Tidak ada yang keberatan untuk menggunakan jalan ini dan kalaupun
meninggalkan makna Fi Sabililhaq Fastabiqul Khaerat sebagai
standar dan mengantikannya dengan prilaku maka menjadi jelaslah bahwa itu hanya
alat polesan nuraninya sebagai bentuk pertobatan sementara, sehabis itu di
landa oleh krisis moral dan kejelekan tiada akhir.
Pada hakekatnya mengimplementasikan Fi Sabililhaq Fastabiqul
Khaerat dalam arus besar pemikiran kita akan menjadi sslebih baik,
karena sudah jelas bahwaFastabiqul Khaerat di jalan yang terbaik
itu lebih bermanfaat daripada kita menjadi babi terperangkap dan buta tuli
terhadap esensi kehidupan. Coba kita bawa alam argumentasi Fi
Sabililhaq Fastabiqul Khaerat dalam nurani dan pikiran murni kita
untuk selangkah lebih jauh lagi dan anggaplah selama ini kita banyak meraup dan
mendapatkan kesenangan secara langsung dan memperoleh melalui tahapan yang
panjang, dibandingkan dengan kini yang kita hadapi dan lihat bersama drama
kemungkaran tanpa layak di pertontonkan dan di contohkan. Mengutif tulisan
Muhammadun AS (Jawa Post, 29/7/2011) mengatakan bahwa umat beragama terasa
mulai menggunakan jubah namun berprilaku tidak baik. Ini merupakan implikasi
dari pola pemahaman yang masih split (pecah) terhadap penomen kehidupan. Hal
ini pun pasti terjadi prinsip kapitalisasi fastabiqul khaerat dalam konteks
bayar membayar dalam perlombaan kebaikan. Padahal yang harus kita ketahui bahwa
konsep manusia merupakan mahluk sosial yang bisa di katakan semirusak sehingga
seringkali lahir generasi yang hipokrit tanpa bisa memaknai bahwa kelahiran
manusia di peruntukan untuk menjaga dan memelihara bumi dan segala isinya
berdasarkan perintah tuhan. Ketakutan selama ini peran fastabiqul khaerat sudah
terjebak dan mengalami kekosongan dalam suasana naluri manusia untuk
berfastabiqul khaerat. Persoalan inilah yang di alami oleh umat beragama yang
kebanyak artificial dan adanya defotisme hawa nafsu yang memorak-morandakan
nurani manusia. Nabi tidaklah memerintahkan umatnya untuk selalu sibuk dengan
ritual yang membosankan, namun bagaimana umatnya harus bisa memberikan
kontribusi mengeluarkan saudara-saudaranya yang masih tertinggal dan mengalami
kemiskinan serta terbelakang. Berfastabiqul khaerat dalam menolong sesama dan
memberikan penghidupan bagi kaum miskin merupakan panggilan nurani yang suci
dari lubuk hati sehingga dapat menemukan makna substantif dari Fi
Sabililhaq Fastabiqul Khaerat. Sudah saatnya umat beragama kembali pada
substansi Fi Sabililhaq Fastabiqul Khaerat agar kita semua
menjadi bagian yang terindah sebagai kado kebahagiaan dari Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar