Setiap tahun, di masa musim penghujan tiba banyak daerah yang terkena banjir, termasuk Ibu Kota yang sudah berlangganan yang terendam banjir. Setiap tahun pula kita mendengar, membaca, menyaksikan bahkan mengalami sendiri terror banjir disekitar kita. Setiap tahun pula, pemerintah menganggarkan milyaran rupiah untuk penanggulangan musibah banjir. Musibah?.
Apakah layak, banjir yang dating rutin setahun sekali itu disebut musibah? Bukankah kita sendiri yang mengundang ia ke rumah, jalanan dan pesawahan? Undangan itu berbentuk rutinitas kita dalam membuang sampah kesungai, mempersempit nadi aliran selokan dan menggunduli gunung. Lupa?
Tidak mungkin kita lupa saat membuang sampah ke suangai. Tidak mungkin kita tidak sadar saat menyumpat pori-pori tanah dengan semen. Tidak mungkin kita hilap saat menebas pohon dihulu sungai. Semua itu kita lakukan dengan kesadaran diri. Tidak bias disebut alpa jika kita melakukannya berulang dan setiap hari.
Bagi sebagian orang, banjir bukan lagi bencana yang menakutkan. Bagi mereka, banjir bak teriknya matahari dimusim panas. Jika hujan, maka banjir, titik. Mereka pun sudah menyiapkan diri dengan meninggikan pondasi rumah, membangun pagar, melotengkan atap, menyimpan barang berharga dilantai dua.
Tapi, ada juga orang yang senang banjir dating. Baginya, banjir adalah peroyek tahunan yang dinanti. Dengan banjir, anggaran untuk menghadapi bencana telah tersedia. Ini ternyata, ada pemasukan tambahan. Tak peduli dengan penderitaan pengungsi.Tutup kuping dengan jeritan keluarga yang ditinggal mati saudaranya yang terbawa arus. Buta dengan kerugian yang dialami petani karena sawahnya terendam. Untung?
Ya, keuntungan. Jika tidak ada banjir rutin, anggaran penanggulangan bencana akan terbatas. Bencanan memang tidak terencana. Ia bias dating kapan saja. Sehingga anggaran yang disiapkan pun terbatas saja. Berbeda jika bencana iru direncanakan. Maka dibuatlah peroyek strategis, banjir. Untuk menyukseskan program ini, dibiarkan pembalakan. Gunung-gunung dibiarkan plotos, agar air hujan tak jua masuk kedalam tanah. Dilepaskanlah orang-orang yang mencemari sungai. Karena, bila sampah menggunung di muara sungai, akan menahan laju air ke samudra. Ironi?
Tidak juga. Diera kapitalisme lanjutan ini, keuntungan mesti direkayasa. Apapun didunia ini bias menjadi bisnis, begitupun bencana. Bisnis bencana. Kita hanya tahu, banjir terjadi dimana-mana. Milyaran rupiah kerugiannya. Tetapi tidak tahu, jika semua itu skenario kapitalis. Ada sebagian orang yang mengeruk keuntungan dengan banjir ini. Tidak tahu malu?
Betul. Malu, bagi mereka adalah ide menarik untuk dibisniskan. Ada banyak keuntungan akan dikeruk dengan bisnis malu. Salah satunya dengan bisnis bencana. Ternyata, tidak selamanya bencana melahirkan penderitaan. Terkadang, bencana disengaja ya, disengaja untuk meraih keuntungan.
Sumber: dari Buletin Mujahidin PWM Jawa Barat
0 komentar:
Posting Komentar